Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi "Lampu Merah" di Surabaya

Kompas.com - 12/11/2013, 18:15 WIB

KOMPAS.com — Setelah berhasil menjadikan Surabaya sebagai kota besar terbersih di Indonesia, satu lagi ujian berat dihadapi Pemerintah Kota Surabaya, yakni menutup semua kawasan ”lampu merah” atau tempat-tempat prostitusi yang berserak di kota itu. Satu di antaranya Gang Dolly yang telah melegenda sejak zaman penjajahan Belanda.

Bertepatan dengan Hari Pahlawan, Minggu (10/11/2013), Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mendeklarasikan Surabaya bebas lokalisasi. ”Percuma Surabaya dikatakan indah dan bersih kalau anak-anak kita masih dihadapkan masa depan yang gelap. Saya ingin menyelamatkan anak-anak. Saya sudah pamit dengan suami dan anak-anak, saya rela mati demi menyelamatkan anak-anak di lokalisasi,” ujar Risma berapi-api saat deklarasi ”Surabaya Bebas Lokalisasi” di Taman Bungkul, Surabaya, Jawa Timur.

Menurut data Dinas Sosial Kota Surabaya, sedikitnya ada 1.700 pekerja seks komersial yang mencari nafkah di tempat-tempat pelacuran. Jumlah ini sebetulnya sudah jauh berkurang karena pernah mencapai 3.500 orang pada tahun 2008. Mereka tersebar di enam lokalisasi, mulai dari kawasan Kremil dan Bangunsari, Klakahrejo dan Sememi, serta kawasan Dolly dan Jarak.

Dari enam lokalisasi tersebut, dua lokalisasi yang bernuansa asing, yakni Kremil dan Dolly. Kremil yang lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak berasal dari kata Kremlin karena sering didatangi pelaut-pelaut asal Rusia.

Sementara kawasan Dolly sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Lokalisasi ini dulunya kawasan pemakaman, tetapi oleh Dolly van der Mart, orang Belanda yang menetap di Surabaya, pemakaman ini disulap menjadi area hiburan malam untuk tentara Belanda. Seiring dengan berjalannya waktu, lokalisasi ini menjadi konsumsi warga pribumi, mulai dari kelas bawah hingga atas.

Di Gang Dolly saja saat ini tercatat ada 1.128 pekerja seks. Mereka bekerja di 57 wisma yang terletak di Kecamatan Sawahan, jantung kota Surabaya. Ada yang menyebut Dolly sebagai pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara, melampaui lokalisasi Patpong di Bangkok, Thailand, dan melebihi lokalisasi Geylang di Singapura.

Penutupan kawasan Dolly dan lima lokalisasi lainnya tidak hanya ditentang pekerja seks dan mucikarinya, tetapi juga warga sekitar. Bahkan, kalangan legislatif setempat berpendapat, penutupan lokalisasi-lokalisasi itu terkesan tergesa-gesa tanpa persiapan matang untuk mengubah mental mereka yang terlibat di sana untuk hidup yang lebih sehat.

Upaya penutupan ini tentu tidak ringan mengingat kawasan prostitusi itu telah berakar kuat di tengah masyarakat. Tidak hanya menyerap ribuan pekerja seks, tetapi juga memberi lapangan kerja yang sangat besar buat masyarakat sekitar. Ada yang jualan pulsa, warung nasi, pedagang kue, laundry, toko serba ada, jasa parkir, pengamanan, dan lain-lain.

Revolusioner

Keputusan menutup kawasan Dolly dan lima lokalisasi lainnya di Surabaya tampaknya sudah bulat bagi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Tiga lokalisasi sudah ditutup lebih dulu, yakni kawasan Dupak, Kremil (Tambak Asri), dan Klakahrejo yang berhasil ditutup dengan mulus.

Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Supomo menjelaskan, keputusan menutup semua kawasan ”lampu merah” itu adalah sebuah gerakan penyelamatan generasi yang revolusioner. Selama puluhan tahun, aktivitas pekerja seks telah menyatu dan bercampur baur dengan aktivitas keseharian masyarakat di kawasan tersebut.

Dampak psiko-sosial terhadap anak-anak dan remaja yang bermukim di sana tidak kecil tentunya. Bila dicermati, kata Supomo, akan terasa pada nilai-nilai yang tertanam dalam diri anak-anak dan remaja yang bermukim di kawasan itu. Bercampurnya industri hiburan, apalagi industri prostitusi, memberi dampak lingkungan yang negatif.

Penutupan tempat-tempat prostitusi ini menjadi semakin mendesak, karena Wali Kota Tri Rismaharini sendiri melihat langsung banyak remaja yang terperosok dalam dunia prostitusi. Di tempat lain, ia menemukan pekerja seks yang sudah berumur 60 tahun.

Dalam jangka waktu dekat, kata Supomo, pemerintah kota akan menyulap area lokalisasi Dolly menjadi kawasan smart city. Di area itu akan dibangun pasar dan sentra perdagangan kaki lima, serta ruang untuk taman baca Al Quran, pelatihan ibu-ibu, sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD), dan lahan untuk bazar rakyat.

Seperti yang dilakukan di kawasan Dupak, warga bersama pengurus kampung mendirikan rumah kreatif yang menjadi tempat berlatih dan berwirausaha. Tempat ini digunakan untuk memberdayakan warga setempat serta mantan pekerja seks.

Kawasan “lampu merah” di Surabaya akan menjadi kenangan. Keberhasilan memadamkan “lampu merah” ini tergantung dukungan masyarakat Surabaya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat untuk bertekad menjadikan mereka sebagai manusia yang bermartabat. Semoga. (Rusdi Amral)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com