Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teater Jalanan, Kilas Balik Terbunuhnya Thomas Parr

Kompas.com - 10/11/2013, 12:48 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com — Pemandangan di halaman Gedung Bank Indonesia, Bengkulu, pukul 09.00 WIB, Minggu (10/11/2013), agak berbeda. Puluhan masyarakat berpakaian layaknya pejuang kemerdekaan berkumpul, berteriak, dan mengumandangkan jerit perlawanan serta isak tangis bercampur baur.

Hal itu merupakan bagian dari atraksi teater jalanan yang digelar Komunitas Sepeda Angin Kuno (Kerano) dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, 10 November. Teater jalanan tersebut menurut Residen Kerano, Agus Setyanto, merupakan kilas balik dari perlawanan rakyat Bengkulu dalam mengusir penjajahan Inggris dan Belanda di daerah itu.

"Teater ini merupakan bentuk ungkapan dari gigihnya rakyat Bengkulu dalam mengusir penjajahan di Nusantara ini," kata Agus Setyanto.

Simbol keberanian pejuang saat itu adalah didirikannya tugu Thomas Parr di kawasan Pasar Baru Koto, Kota Bengkulu.

Agus Setyanto yang juga Dosen Humaniora di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bengkulu ini menyebutkan, sejarah gerakan sosial di Indonesia telah mencatat bahwa selama abad ke-19 hingga awal abad ke-20 secara terus menerus, telah terjadi pergolakan petani seperti pemberontakan, kerusuhan, huru-hara, kegaduhan, dan sejenisnya, yang mengguncang tatanan masyarakat dan pemerintahan kolonial, terutama kolonial Belanda dan Inggris.

Di wilayah Bengkulu, setidaknya telah terjadi secara mencolok dua kali peristiwa perlawanan rakyat selama masa pemerintahan kolonial Inggris (1685-1825). Perlawanan rakyat terhadap pemerintah koloni Inggris (EIC) yang pertama terjadi pada tanggal 23 Maret 1719, dan yang kedua kalinya terjadi pada bulan Desember 1807 yang dikenal dengan peristiwa Mount Felix (27 Desember 1807).

Peristiwa Mount Felix (1807)
Mount Felix adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang Inggris untuk menyebut sebuah kawasan perbukitan yang terletak di sebelah utara, sekitar 25 kilometer dari pusat kota Bengkulu. Sementara itu, masyarakat pribumi menyebutnya sebagai Bukit Palik.

Ketegangan sosial yang terjadi selama masa pemerintahan Walter Ewer (1800-1805) tampaknya terus berkelanjutan hingga masa penggantinya, yaitu Thomas Parr.

Residen Inggris ini hanya memerintah di Bengkulu selama dua tahun, yaitu dari tahun 1805-1807, yang berakhir dengan kematiannya secara tragis.

Intervensi Thomas Parr terhadap kehidupan tradisional para kepala adat, terutama dalam hal peradilan pribumi, sering dilakukan tanpa meminta persetujuan dari para kepala adat. Dengan demikian, tampak semakin kompleks ketegangan-ketegangan sosial selama masa pemerintahan Thomas Parr.

Puncak dari segala ketegangan sosial itu adalah meletusnya pergolakan pada tanggal 27 Desember 1807. Thomas Parr dibunuh pada tanggal itu di kediamannya di Mount Felix, yang berlokasi sekitar tiga mil sepanjang garis pantai dari Fort Marlborough.

Dia terbunuh oleh ratusan rakyat Bengkulu yang telah muak dengan tekanan penjajah saat itu. Menurut sebuah sumber, Thomas Parr dimakamkam di daerah tertutup di Fort Marlborough, dengan pertimbangan, untuk menghindari perasaan marah dan juga dikhawatirkan akan digali dan dinajiskan oleh penduduk lokal.

Demikian juga dengan makam Charles Murray, sekretarisnya yang telah berusaha menyelamatkan Mr Parr, meninggal pada tanggal 7 Januari 1808.

Bagi pemerintah kolonial Inggris, bagaimanapun juga Thomas Parr tetap dianggap sebagai pahlawan karena jasa dan pengabdiannya. Oleh karena itu, Pemerintah Inggris kemudian mendirikan sebuah monumen untuk mengenangnya.

Monumen tersebut dibangun di atas tanah yang berlokasi tidak jauh dari pusat Ibu Kota Bengkulu (sekitar 150 kaki) dari Fort Marlborough. Di monumen yang didirikan tanggal 7 Januari 1808 itu terdapat prasasti yang berkaitan dengan peristiwa Mount Felix.

Orang-orang Inggris menyebut dengan nama Parr Monument, sedangkan kelompok elite pribumi Bengkulu menyebutnya sebagai Taman Raffles (Raffles Park). Penduduk pribumi Bengkulu itu lebih akrab menyebutnya sebagai "kuburan bule".

Pergelaran teater jalanan itu memancing rasa ingin tahu masyarakat yang kebetulan lewat di lokasi tersebut. Ratusan warga tampak mengelilingi lokasi teater jalanan yang digelar Kerano.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com