Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPRD: Perusahaan Perkebunan di Simalungun Tak Menguntungkan

Kompas.com - 24/09/2013, 21:34 WIB
Kontributor Pematangsiantar, Tigor Munthe

Penulis


PEMATANGSIANTAR, KOMPAS.com - Keberadaan perkebunan, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dituding menjadi faktor memperumit proses pembangunan infrastruktur jalan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Penilaian ini disampaikan anggota DPRD Kabupaten Simalungun, Manandus Sitanggang, saat menjadi salah satu narasumber dalam seminar Hari Tani Nasional yang difasilitasi Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Universitas Simalungun di aula Pasca Sarjana Universitas Simalungun, Jalan Sisingamangaraja, Pematangsiantar, Sumatera Utara, Selasa (24/9/2013).

Menurut Manandus, saat ini hampir 60 persen dari 250 hektar sarana jalan di sekitar lahan perkebunan rusak parah sehingga menghambat aktivitas masyarakat. "Dalam penilaian kami, keberadaan perkebunan baik milik swasta maupun milik negara sangat sedikit keuntungannya di Kabupaten Simalungun," katanya.

Oleh karena itu, kata Manandus, pada 2011 silam, DPRD Kabupaten Simalungun sudah pernah memberikan rekomendasi ke DPRD Provinsi Sumatera Utara dan DPRR RI agar salah satu perkebunan swasta yang ada di Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun yakni PT Sipef agar segera dinasionalisasi demi kepentingan masyarakat Kabupaten Simalungun. Sayangnya, hingga saat ini rekomendasi itu tak diketahui implementasinya.

"Itulah salah satu wajah konflik agraris yang kita hadapi saat ini di Kabupaten Simalungun. Memang sangat banyak yang belum terselesaikan. Dimana, akibat berlarutnya proses penyelesaian, konflik menimbulkan ragam persoalan baru, seperti persoalan PT Sipef. Selain adanya dugaan perampasan tanah milik warga oleh pihak perusahaan perkebunan, kasus tanah longsor akibat adanya galian parit di sekitar lokasi itu juga telah merugikan banyak pihak," tandas Manandus kemudian.

Untuk solusinya, Manandus menyarankan diperlukan sebuah lembaga khusus yang bisa menyelesaikan konflik agraria di Indonesia. Akan tetapi lembaga itu harus diberikan target semaksimal mungkin dalam menjalankan kinerja, agar tidak terjadi pemborosan anggaran.

Pembicara lain, Ketua Pusat Kajian Hukum (PSKH) Universitas Simalungun, Fransiskus Silalahi berpendapat senada. Menurutnya, Indonesia sudah sangat membutuhkan sebuah lembaga khusus yang fokus menangani dan menyelesaikan segala persoalan pertanahan di Indonesia.

"Bicara agraria sejatinya bukan hanya menyangkut persoalan tentang pengelolaan maupun kepemilikan sebidang tanah yang kita injak setiap hari, melainkan juga menyangkut segala sumber daya lain seperti tambang minyak, batu bara dan gas alam. Jika kita jujur, pengelolaan segala sumber daya alam di Indonesia sudah sangat jauh melenceng dari amanah konstitusi Indonesia, khususnya pada pasal 33 UUD 1945," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Silalahi, diharapkan pemerintah dapat lebih serius dalam menjalankan amanah pasal 33.

Sedangkan anggota DPR RI, Martin Hutabarat dalam kesempatan tersebut mengaku, saat ini parlemen tengah menggodok Rancangan Undang Pertanahan di Indonesia. Rencananya, pada 2014 mendatang akan dirumuskan sebuah aturan baru yang bakal menghapus segala persoalan pertanahan di Indonesia.

Kata Martin, dalam menyelesaikan konflik agraria di Indonesia dibutuhkan sebuah langkah politik hukum pertanahan. Sebab, dalam masalah pertanahan di Indonesia memiliki akar yang multidimensial. "Persoalan pertanahan tidak tunggal masalah hukum dan politik pertanahan semata, melainkan ada faktor lain yang dapat menimbulkan konflik agraria seperti faktor demografi dan ekonomi," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com