Mereka juga menyiasati kelangkaan kedelai impor dengan menggunakan kedelai lokal meskipun kualitasnya berbeda. “Kita biasa pakai kedelai Amerika, itu bagus kualitasya, tapi sekarang harganya udah sebelas ribu perkilo, tapi barang lagi kosong. Sekarang kita pakai kedelai lokal dari Jawai Pemangkat, harganya masih sembilan ribu, tapi katanya mau naik lagi” kata Sutiana, Selasa (10/9/2013), seorang pengusaha tempe yang sudah sejak 50 tahun menjalankan usaha turun temurun keluarganya di Singkawang, Kalimantan Barat.
Sutiana mengaku tidak bisa menaikkan harga jual tempe lantaran belum ada kesepakatan dengan para pengusaha tempe lainnya. “Susah juga kita mau menaikkan harga, karena kita di sini tidak kompak. Kita mau naikkan harga, tapi kawan yang lain tidak, nanti pelanggan kita pada lari. Jadi kita kecilkan ukurannya, harga jual tetap seperti biasa, kalo saya naikkan harga nanti pedagang bisa protes, tempe kita ndak laku, bisa bangkrut saya," ujar Sutiana.
Pengusaha tempe lainnya, Rubiah, mengaku tidak terlalu terpengaruh dengan kenaikan harga kedelai di pasaran. “Kita produksi skala besar, kedelai memang lagi susah, tapi saya masih bisa dapat pasokan kedelai dari agen langganan. Kalau harga memang kita tidak naikkan, tapi ukurannya saja yang kita kecilkan, misal sebelumnya ukuran dua kilo per bungkus, kita turunkan timbangan jadi satu setengah kilo,” kata Rubiah yang sudah 13 tahun menekuni usaha pembuatan tempe.
Dalam sehari, usaha pembuatan tempe milik Rubiah bisa memproduksi tempe hingga 300 kg kedelai. Tempe tersebut didistribusikan ke daerah-daerah seperti di Sambas, Pemangkat, Sungai Duri, Bengkayang dan Serukam. Mereka berharap pemerintah bisa menstabilkan harga bahan baku kedelai dipasaran, supaya mereka bisa mempertahankan usaha mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.