Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiwul, Ketahanan Pangan Warga Dusun Kalisonggo

Kompas.com - 09/09/2013, 15:00 WIB

KOMPAS.com - Tiwul identik dengan santapan harian warga miskin di daerah tandus. Namun, menu makanan yang terbuat dari ubi kayu itu sesungguhnya adalah cara masyarakat untuk mempertahankan diri dari ancaman kelaparan ketika musim kemarau berkepanjangan melanda.

Obrolan ringan mengiringi aktivitas 15 perempuan di teras sebuah rumah di Dusun Kalisonggo, Desa Karangmojo, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pekan lalu. Sambil duduk berselonjor di atas tanah, tangan mereka sibuk mengupas kulit singkong. Beberapa anak kecil ikut di dekat ibunya.

Potongan singkong berwarna putih yang selesai dikupas terhampar dijemur di dekat mereka. Pada musim kemarau, pemandangan perempuan mengupas ubi kayu untuk dijadikan gaplek, dan selanjutnya tiwul, menjadi hal lazim di dusun ini.

Sepanjang musim ini dimanfaatkan untuk membuat tiwul sebagai persediaan berbulan-bulan, bahkan setahun. Pembuatan tiwul membutuhkan sinar matahari berlimpah. Singkong yang sudah dikupas, dijemur hingga kering menjadi gaplek. Setelah dicuci, lantas ditumbuk menjadi tepung dan disimpan. Tepung ini dikukus menjadi tiwul.

”Kebiasaan warga di sini saat kemarau adalah membuat tiwul yang bisa disimpan hingga setahun,” ujar Sumiarsih (22), warga Kalisonggo.

Semangat gotong-royong

Tiwul adalah ketahanan pangan dan semangat gotong-royong warga Kalisonggo. Tanah Kalisonggo yang tandus membuat warga tidak bisa menanam padi. Mereka harus membeli beras jika ingin makan nasi. Padahal, penghasilan mereka yang rata-rata hanya lulusan SMP tak seberapa. Kebanyakan mengandalkan lahan yang hanya dapat ditanami palawija, seperti jagung, kedelai, dan kacang tanah. Panen palawija paling banyak dua kali dalam setahun. Itu pun jika curah hujan cukup banyak.

Pada musim kemarau, mereka menanam singkong yang harga jualnya tak lebih dari
Rp 2.000 per kilogram. Sebagian besar singkong hasil panen dikonsumsi sendiri, setelah diolah menjadi tiwul. Jika tanah terlalu kering karena hujan tak kunjung turun, mereka tidak bisa menanam apa pun. Beternak pun tidak lagi bisa diharapkan. Hampir tidak ada lagi warga yang memelihara kambing atau sapi karena sulit mencari rumput segar dan air minum ternak.

Banyak warga dusun itu yang lalu merantau menjadi kuli angkut, penjual jamu gendong, pedagang bakso, dan lainnya sehingga hanya menyisakan orang tua dan anak kecil. Ada yang berhasil, tetapi tak sedikit yang hanya bisa menyambung hidup. Namun, perantau ini akan langsung pulang jika mendengar tetangga mereka di kampung sakit atau menyelenggarakan hajatan. Ikatan antarwarga masih erat.

”Semua perantau pasti pulang meski saat itu kami hanya punya uang untuk ongkos perjalanan,” kata Yatmi (44), warga Kalisonggo yang menjadi kuli gendong di Pasar Giwangan, Yogyakarta.

Untuk membuat tiwul juga tidak dilakukan sendiri, tetapi bergotong-royong, setidaknya untuk mengupas singkong. Misalnya, saat itu 15 perempuan membantu Mbah Kasiyem. Lain waktu, jika ada warga lain yang membutuhkan bantuan, mereka akan membantu warga tersebut.

Tiwul tak hanya dimakan saat kemarau, tetapi sepanjang tahun. Tiwul saja atau tiwul yang dimasak dicampur beras disantap dengan lauk ikan asin bakar, sambal bawang, sayur daun singkong, atau bayam hasil kebun sendiri. Menu itu menjadi santapan favorit warga karena kebanyakan bercerita dengan mimik wajah penuh selera membayangkan paduan makanan ini.

”Dengan ada tiwul, kami bisa menghemat pengeluaran sebab tidak perlu masak beras banyak. Tiwul bisa dicampur beras dengan perbandingan satu banding dua,” kata Marjinten (47), warga Kalisonggo yang merantau sebagai penjual bakso di Jakarta.

Tiwul adalah hasil kreasi masyarakat dalam mengolah singkong pada musim kemarau. Pangan menjadi isu penting, selain air bersih di daerah rawan kering. Kebiasaan makan tiwul di wilayah eks Keresidenan Surakarta bisa ditemui di desa-desa rawan kekeringan, seperti di Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri. Walaupun kemudian, sebagian warga meninggalkan kebiasaan itu ketika taraf hidup meningkat atau tiwul disantap saat kondisi ekonomi sudah benar-benar terdesak. Tiwul dimakan sebagai santapan klangenan (nostalgia) seperti di rumah makan di kota-kota.

Kepala Program Studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Solo Kusnandar menuturkan, kandungan karbohidrat tiwul sebenarnya tidak kalah dari beras sehingga bisa menggantikan beras sepenuhnya. Hanya perlu dilengkapi dengan lauk-pauk dan sayur lain yang bergizi, yang bisa bersumber dari pangan lokal. Sayangnya, tiwul dan aneka pangan lokal lain yang bisa menjadi alternatif pengganti beras, seperti sagu dan jagung, selama ini dipersepsikan salah sebagai pangan orang yang kekurangan.

”Beras punya kandungan lain selain karbohidrat, seperti vitamin B1. Namun, makan beragam jenis pangan, bukan hanya satu macam makanan lebih baik bagi tubuh kita. Misalnya, tidak selalu makan nasi, tetapi bisa diganti dengan singkong atau jagung,” kata Kusnandar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com