Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Alasan Masyarakat Polahi Tolak Turun Gunung

Kompas.com - 03/09/2013, 13:36 WIB
Kontributor Gorontalo, Muzzammil D. Massa

Penulis


GORONTALO, KOMPAS.com — Sampai hari ini, masih ada masyarakat adat Polahi yang hidup di lereng Gunung Boliyohuto, meskipun Dinas Sosial setempat telah menyediakan permukiman untuk mereka yang terletak di luar kawasan hutan konservasi.

Menurut Kepala Seksi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) Dinas Sosial Provinsi Gorontalo, Supardi Walango, terdapat sejumlah alasan sebagian masyarakat Polahi tidak bersedia turun gunung.

Salah satunya adalah karena masyarakat Polahi sulit berbaur dengan warga Gorontalo kebanyakan akibat perbedaan cara hidup. “Dari cara berpakaian saja masyarakat ini sudah berbeda. Mereka masih menggunakan pakaian dari kulit binatang, sementara kaum perempuannya tidak mengenakan penutup tubuh bagian atas,” ujar Supardi kepada Kompas.com, Selasa (3/9/2013).

Masyarakat polahi juga tak mengenal sistem penanggalan seperti yang biasa digunakan masyarakat Gorontalo umumnya. Polahi mengukur pergantian waktu berdasarkan masa panen. “Kalau kita bertanya umur seorang polahi, dia akan menjawab dengan ukuran masa panen. Misalnya umur saya 20 kali panen, atau 25 kali panen,” terang Supardi.

Polahi juga menganut kepercayaan berbeda dengan kebanyakan orang Gorontalo yang mayoritas menganut agama Islam. “Kuburan mereka saja tidak ditandai dengan nisan, tapi pohon pinang,” kata Supardi.

Selain karena perbedaan cara hidup, masyarakat Polahi juga menolak turun gunung karena tidak ingin hidup di bawah aturan pemerintah. “Mereka ingin hidup bebas. Tidak mau diatur pemerintah, tidak mau ditekan-ditekan, tidak mau bayar pajak dan melakukan kewajiban seperti umumnya seorang warga negara Indonesia,” kata Supardi.

Supardi menuturkan, menurut sejarah, awalnya Polahi adalah sekumpulan orang Gorontalo yang melakukan eksodus ke wilayah hutan karena menghindari penjajahan Belanda. Kejamnya penjajahan masih lekat dalam ingatan orang Polahi hingga menurun kepada anak cucu mereka. Sebagian orang Polahi masih menganggap, pemerintah sekarang tak jauh berbeda kejamnya dengan penjajah Belanda dahulu.

Supardi menjelaskan, faktor geografis juga menjadi alasan sebagian masyarakat Polahi menolak turun gunung. Mereka menolak menempati 16 rumah layak huni yang disediakan Dinsos Gorontalo di desa Tamaila, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo karena permukiman tersebut terletak di lokasi yang jauh dari aliran sungai.

Dinsos sebenarnya telah berencana membangun pemukiman di dekat aliran sungai, namun rencana ini tidak mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kehutanan setempat. “Kawasan di dekat sungai tersebut menurut Dinas Kehutanan sudah masuk dalam kawasan hutan konservasi. Sehingga kita tidak bisa membangun pemukiman di sana,” kata Supardi.

Supardi melanjutkan, seluruh lahan yang diberikan untuk suku Polahi harus memiliki sertifikat tanah. “Kita tidak mungkin membuatkan sertifikat untuk tanah yang masuk kawasan hutan,” imbuhnya.

Otomatis, kata Supardi, berbagai fasilitas seperti penyuluhan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan hanya dirasakan masyarakat Polahi yang berada di Desa Tamaila, sementara Polahi yang masih berada di kawasan hutan tidak bisa menikmati hal tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com