Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ke Mana Suara Kaum Nahdliyin di Pilgub Jatim?

Kompas.com - 26/08/2013, 13:08 WIB
KOMPAS.com - Wajah pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH Sholahudin Wahid, tampak biasa saja saat ditanya soal rivalitas dua kader Nahdlatul Ulama yang kini bersaing dalam Pilkada Jawa Timur. Keduanya, Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor Saifullah Yusuf dan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Khofifah Indar Parawansa.

Gerakan Pemuda Ansor adalah sayap pemuda organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan Muslimat dikenal juga sebagai sayap perempuan organisasi NU. Keduanya, jelas kader dan sayap organisasi NU yang sangat strategis.

”Memangnya kenapa?” tanya Sholahudin santai, pekan lalu. Menurut dia, warga NU tak harus memberi dukungan kepada calon atau organisasi tertentu yang bersifat tunggal. ”Warga NU juga tak harus terikat dengan salah satu tokoh kadernya,” kata Gus Sholah, adik kandung almarhum KH Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Tanfidziyah NU.

Warga NU memang terbiasa dengan perbedaan pandangan politik para tokoh maupun struktural (pengurus organisasi dalam NU) ataupun nonstruktural. NU dalam sejarahnya pun senantiasa berada dalam pendulum perbedaan pendapat, terutama menyikapi gejala-gejala sosial politik dari luar NU.

Ayunan pendulum perbedaan pendapat ini berdampak pada sikap politik pemimpinnya, khususnya pemimpin riil yang dianut massa warga nahdliyin, yakni para kiai NU sebagai primus inter pares atau orang-orang paling berpengaruh dalam komunitas besar NU.

Pilkada Jatim kali ini, kekukuhan dukungan massa NU yang pasti signifikan dalam hal jumlah, kembali diuji. Khofifah yang pernah maju pada Pilkada Jatim 2008 sebagai calon gubernur merupakan rival utama pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Gus Ipul).

Api rivalitas belum padam

Meskipun waktu berlalu lima tahun, api rivalitas masih belum juga padam. Kali ini, Khofifah kembali jadi ”batu sandungan” utama bagi majunya kembali pasangan incumbent yang menjuluki diri Karsa.

Ini bukan semata-mata soal hukum sebab dampak dari sepak terjang Khofifah, ayunan pendulum itu kembali bergerak kuat. Semula, dukungan psikologis warga NU tentu hanya kepada Gus Ipul. Setidaknya, bagi Gubernur Jatim Soekarwo, yang memajang tokoh NU itu. Namun, seiring putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang meloloskan pencalonan Khofifah, kini muncul dua NU di antara empat kontestan.

Tak ada hukum harus ada satu NU di antara kontestan. Hanya saja, kata Gus Sholah, seyogianya cukup ada satu NU yang tampil. Ini agar dukungan pemilik suara warga NU dapat diyakinkan hanya pada satu calon sehingga suara dukungan menjadi signifikan.

Gus Sholah mengaku mendukung Khofifah sebab hubungan pribadinya sangat dekat. ”Istri saya, Sekretaris PP Muslimat, sedangkan Khofifah jadi Ketua. Selain itu, sudah saatnya warga NU menjadi Gubernur dan memimpin Jatim. Namun, saya harus menambahkan, dukungan saya kepada Khofifah bukan berarti Pondok Pesantren Tebu Ireng juga mendukung. Warga NU dan pondok pesantren, termasuk Tebu Ireng, bebas memberikan dukungan kepada kontestan mana pun,” kata Gus Sholah.

Kini, massa warga NU terbelah antara pendukung Gus Ipul dan Khofifah. Keduanya juga sama berharganya bagi NU. Bahkan, keduanya generasi muda yang menonjol setelah reformasi politik Indonesia. Sebab, kelak mereka dibutuhkan NU.

Seharusnya jangan sampai kedua kader itu pecah gara-gara rivalitas pilkada. Ketegangan ini juga dapat mengurangi keutuhan suara dukungan massa NU serta berdampak pada daya tawar NU terhadap kekuasaan.

”Saya pendukung Gus Ipul. Namun, putusan DKPP yang menampakkan gambaran Khofifah dikuyo-kuyo (disengsarakan) kini tak bisa menjamin apakah ibu dan istri saya masih bisa seaspirasi dengan saya. Kami menduga dukungan perempuan NU bisa berbeda,” kata Wakil Ketua DPW Garda Bangsa Jatim Mohammad Hasib Al-Isbily. Garda Bangsa semacam organisasi sayap kepemudaan dalam Partai Kebangkitan Bangsa.

Ke arah mana dukungan suara mengalir, tentu akan menjadi pertanyaan. Memang, populasi NU sulit diukur meskipun ada kabar mencapai 30 persen penduduk Jatim. Pengalaman sekian kali pemilihan membuat warga NU tak bisa lagi ditarik-tarik meski tetap ada kemungkinan ke arah itu. (RUNIK SRI ASTUTI/ DODY WISNU PRIBADI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com