Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Tradisi "Bom" di Masjid Agung Magelang

Kompas.com - 10/07/2013, 12:59 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis


MAGELANG, KOMPAS.com — Sekira belasan tahun yang lalu, takmir Masjid Agung Kauman Magelang, Jawa Tengah, mempunyai cara unik untuk menandai waktu berbuka puasa. Mereka menggunakan tanda yang disebut "bom" udara atau dung.

Takmir Masjid Agung Kauman Magelang, H Jauwari (80), menceritakan, "bom" yang dimaksud adalah sejenis petasan berbentuk bola berdiameter sekitar 10 sentimeter. Di dalam bola itu diisi serbuk mercon yang di tengahnya dipasang sumbu.

Ketika hendak menyulut, kata Jauwari, bom diletakkan di ujung tabung besi sepanjang lebih kurang 1,5 meter. “Sebelum dinyalakan, bom yang sudah dipasang di tempatnya harus diarahkan ke atas atau udara, kemudian dinyalakan menggunakan korek api pada sumbunya. Setelah itu, bom akan meluncur ke atas diiringi dengan suara dentuman seperti suara bom," kata Jauhari ketika ditemui di rumahnya di Kampung Kauman, Kota Magelang, Rabu (10/7/2013).

Menjelang detik-detik berbuka puasa atau menjelang maghrib, bom itu ramai-ramai dinyalakan di tengah lapangan alun-alun depan masjid tua itu. Konon, suara dentuman yang keras bisa terdengar hingga di seluruh pelosok Kota Magelang.

Masyarakat setempat mengenalnya dengan suara dung. “Suara itulah yang oleh warga Magelang menjadi satu-satunya tanda berbuka puasa,” ujar Jauwari yang sudah menjadi Takmir Masjid Agung Magelang sejak tahun 1956.

Menurut Jauwari, tradisi menyalakan bom sudah ada bahkan sejak dirinya belum lahir. Tradisi tersebut menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu warga Magelang dan sekitarnya. Sejak ia ditunjuk menjadi takmir, ia pasti membeli bom tidak kurang dari 60 biji, yang langsung dibawa dari Surabaya, Jawa Timur.

"Waktu itu harganya masih Rp 5.000 per biji. Tiap hari selama Ramadhan dinyalakan. Kalau belum habis, sisanya akan dinyalakan beramai-ramai pas hari raya Idul Fitri setelah shalat Id di alun-alun. Wah, senang dan ramai sekali waktu itu," kenangnya.

Namun sayang, sejak ada pelarangan menyalakan petasan beberapa tahun lalu, tradisi bom itu juga ikut dilarang oleh pemerintah. Tradisi tersebut kemudian diganti menggunakan sirene yang dipasang di atas tugu water torn di Alun-alun.

Namun, penggunaan sirene itu pun tidak berlangsung lama karena sirene rusak dan tidak pernah diperbaiki hingga sekarang. "Penanda berbuka puasa lantas diganti menggunakan tabuhan beduk dan suara azan melalui pengeras suara sampai sekarang," tutur Jauwari.

Pada Ramadhan tahun ini, Jauwari berkeinginan menghidupkan kembali tradisi tersebut. Jauwari mengatakan, banyak warga yang menemuinya dan mengusulkan untuk menghidupkan lagi bom udara atau sirene itu.

Menurut mereka, tanda tersebut sangat membantu mengetahui waktu berbuka puasa. "Sekarang warga banyak yang kebingungan dan ragu-ragu jika hendak berbuka. Karena mendengar tanda berbuka dari berbagai media dengan waktu yang berbeda pula. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak karena masih ada larangan dan harus seizin wali kota," ungkapnya.

Sementara itu, Romelah, warga Sorobayan Banyuurip Tegalrejo, Kabupaten Magelang, menceritakan, meski jarak rumahnya dengan dengan Masjid Agung sekitar empat kilometer, tetapi suara dung atau sirene menjelang maghrib jelas terdengar.

Saat-saat menunggu suara itu adalah sesuatu yang menyenangkan bagi warga, khususnya anak-anak. "Dulu patokan waktu berbuka puasa ya suara dung atau sirene dari Masjid Agung Kauman. Kalau sekarang sudah tidak ada lagi," tuturnya.

Masjid Agung atau populer juga dengan Masjid Jami' Kauman Kota Magelang berawal dari mushala yang dibangun tahun 1650 oleh Kyai Mudzakir. Tahun 1779, Danuningrat (bupati ketiga Magelang) membangun menjadi masjid dan bertahan hingga sekarang.

Lalu, masjid yang menjadi pusat penyiaran agama Islam di Magelang itu mengalami pemugaran pada tahun 1935, sekaligus dibuat tembok pembatas. Tahun 1981 mendapat tambahan serambi dan menara yang dibangun oleh Bagus Panuntun, Wali Kota Magelang kala itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com