Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rakyat Kecil Jadi Korban dan Merugi

Kompas.com - 13/06/2013, 07:56 WIB

KOMPAS.com - Sejarah kekuasaan kerap diwarnai dengan perebutan dan pertumpahan darah. Hingga era demokrasi modern, sejarah berlanjut mengambil rupa keberingasan dalam pemilihan umum kepala daerah. Rakyat kecil yang tak tahu-menahu pun akhirnya ikut menanggung dampaknya.

Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) di Provinsi Sumatera Selatan, Kamis (6/6/2013), dibayangi kekhawatiran terjadinya keberingasan. Sebab, dua hari menjelang pilkada, dua toko di kawasan pasar dan kompleks terbesar di Sumsel, yaitu Pasar 16 Ilir, Palembang, terbakar.

Apalagi, belum lama ini sejumlah konflik serupa terjadi di wilayah lain di Sumsel, seperti Kabupaten Banyuasin dan Empat Lawang. Di Banyuasin, aksi massa mengepung kantor Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu setempat. Di Empat Lawang, rekapitulasi perolehan suara calon bupati memicu bentrok antar-pendukung.

Bagi Rustina (40), lidah api yang menjilat di hadapannya pada Selasa lalu belum hilang dari bayangannya. Waktu itu, keributan di tengah keramaian kawasan pusat perdagangan Sumsel, Pasar 16 Ilir, mendadak membuat para pedagang kaki lima, terutama di ruas Jalan Beringin Janggut II, kocar-kacir menyelamatkan diri.

Awalnya, sekelompok pengunjuk rasa terkait sengketa Pilkada Kota Palembang berlarian masuk ke lorong pedagang buah-buahan, pakaian dalam, dan barang kelontong lain. Mereka berteriak-teriak seraya melemparkan kayu dan batu.

Saat melewati kiosnya, beberapa di antaranya mencomoti buah-buahan dagangan. Rustina hanya bisa pasrah melihat jeruk, apel, dan anggur dagangannya jadi rebutan pengunjuk rasa yang berusia belasan tahun hingga 40-an tahun itu.

Tak berapa lama kemudian, keributan menjalar ke toko Jaya Raya Elektronik, yang rupanya jadi sasaran kelompok pengunjuk rasa. Tiba-tiba api membubung sampai ke lantai tiga dan melalap toko elektronik itu. ”Aku dak mikir lagi selamatke dagangan, langsung berlari selamatke diri,” ujar Rustina dengan dialek Palembang, Senin.

Akibat keberingasan itu, Rustina jadi korban. Sebagai pedagang kecil, dia harus menanggung kerugian hingga sekitar Rp 1 juta yang berasal dari dagangan buah yang diambil dan hancur sekitar Rp 700.000 ditambah hari berikutnya Rustina tak bisa berdagang.

Pedagang buah lainnya, Hermawati (55), juga merugi sampai Rp 1,5 juta. Demikian pula Ita (38), pedagang pakaian dalam perempuan, yang kehilangan satu karung dagangan. Agar tak merugi lebih besar, mereka pun nekat berdagang kembali di tengah kekhawatiran terulangnya keberingasan. ”Takut dak takutlah kami ini berdagang. Kalau dak buka, ya, dak makan keluargo kami,” kata Hermawati.

Kerugian miliaran rupiah juga dialami Herman Wijaya, pemilik toko Jaya Raya Elektronik. Seluruh dagangannya ludes dilalap api. Herman dekat dengan salah satu calon wali kota Palembang, Romi Hertono—pemenang Pilkada Palembang versi Mahkamah Konstitusi (MK). Herman juga kenal dengan calon wali kota Palembang, Sarimuda—yang dikalahkan dalam sidang MK. ”Jadi, saya ini kenal semuanya karena sama-sama pengusaha,” ujarnya. Meski demikian, Herman tak mau terlibat dengan ”pesta rakyat” tersebut.

Buntut dari peristiwa itu, polisi menetapkan tiga tersangka sebagai pelaku perusakan dan pembakaran. Mereka adalah S, AN, dan Ian yang kini diproses hukum.

Kehilangan simpati

Ingar-bingar perebutan kuasa ini tentu membuat masyarakat jengah. Wajar jika sebagian dari mereka menjadi tidak bersimpati terhadap proses politik. Bahkan, beberapa memilih golput alias tidak mau memilih.

Revaldi Parliza (35), warga Palembang, misalnya, memutuskan untuk tidak memberikan suara dalam dua kali pilkada, yaitu tingkat kota dan provinsi. ”Pilkada cuma menambah kesusahan rakyat. Saya jadi malas,” ujarnya.

Pilkada yang beringas akhirnya berujung pada angka partisipasi warga dalam Pilkada Sumsel yang turun dibandingkan dengan pilkada lima tahun lalu. Berdasarkan hasil hitung cepat Pusat Kajian dan Kebijakan Pembangunan Strategis (Puskaptis) di Palembang, angka golput mencapai 35 persen atau lebih tinggi daripada tahun 2008 yang mencapai 30-32 persen.

Menurut Direktur Puskaptis Husen Yazid, menurunnya partisipasi karena di antaranya terjadi kejenuhan warga terhadap ingar-bingar Pilkada Sumsel. ”Mereka lelah dengan agenda pilkada yang terus berulang,” ujarnya.

Sebenarnya, lewat pilkada, masyarakat berharap hadirnya pemimpin Sumsel yang mampu menjaga keamanan dan memenuhi kesejahteraan, bukan figur yang justru mengusik ketenangan mereka. (Irene Sarwindaningrum)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com