Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Galakkan Kentang Organik

Kompas.com - 06/05/2013, 03:18 WIB

BANJARNEGARA, KOMPAS - Penanaman kentang secara organik di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, semakin diminati petani. Anjloknya produktivitas kentang hingga 50 persen sejak lima tahun lalu membuka pemahaman petani bahwa kerusakan lahan akibat penanaman tanpa kaidah konservasi sudah kritis.

Ketua Asosiasi Petani Kentang Dieng Mudasir, Minggu (5/5), mengatakan, sejak tiga tahun lalu, sudah sekitar 150 hektar lahan kentang ditanam secara organik. ”Jumlah petani organik terus meningkat. Ditargetkan 2014 mencapai 500 hektar,” ujarnya.

Produksi kentang di Dieng terus menurun. Di akhir 1990-an masih 30 ton per hektar, lalu turun 12-15 ton per hektar. Bahkan, lima tahun terakhir, petani merugi karena hasil panen tak bisa menutup modal. Bibit 1 kilogram (kg) kentang yang dulu bisa dipanen 20 kg kini 6-7 kg.

Saat ini sekitar 7.758 hektar dari total sekitar 10.000 hektar di Dieng kritis, meliputi 4.000 hektar di Wonosobo dan sisanya di Banjarnegara. Data Pemkab Wonosobo menyebutkan, erosi tanah di Dieng mencapai 4,5 juta ton per tahun. Akibatnya, saat hujan deras air langsung menerjang lereng karena tidak ada tegakan penangkap air.

Selain itu, lanjut Mudasir, penyemprotan pestisida atau insektisida yang terlalu sering tanpa memperhatikan kebutuhan tanaman menyebabkan tanaman tidak sehat. Hama pun akan semakin kebal sehingga sulit dimatikan. Belum lagi zat hara dalam tanah kian terkikis akibat terlalu jamak menyerap racun yang dikandung pestisida dan insektisida.

Anggota Kelompok Tani Pertanian Kami Selaras Alam (Perkasa) Dieng, Kabul Suwoto, mengatakan, kampanye pertanian organik yang dimulai sejak 2006 mulai membuahkan hasil. ”Awalnya membutuhkan lebih banyak biaya, tetapi saat ini lebih murah dibandingkan dengan cara konvensional,” katanya.

Kabul menuturkan, supaya lebih mudah diuraikan oleh mikroorganisme, pupuk kandang difermentasi terlebih dahulu. Penggunaan pupuk juga dikurangi hingga 30 persen. Pestisida juga sudah tak digunakan. Mereka lebih memilih menggunakan musuh alami.

Tumpang sari

Selain itu, pertanian monokultur yang selama ini hanya menanam kentang juga mulai diubah. Mereka juga menanam wortel, kol, dan tanaman lain berselang-seling. ”Ternyata, dengan menggunakan sistem selang-seling (tumpang sari), serangan cacing emas atau nematoda sista kuning yang selama ini jadi musuh alami kentang bisa ditekan,” katanya.

Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiyono mengatakan, dengan pola tanam organik yang sudah digalakkan selama lebih dari tujuh tahun, lahan pertanian kentang milik anggota Kelompok Tani Perkasa sudah berkisar 25-30 ton per hektar. Namun, dia sadar tidak mudah mengubah pola pikir masyarakat.

Hama tikus masih menjadi pengganggu tanaman padi di wilayah eks Karesidenan Surakarta. Akibat serangan hama tikus, produktivitas padi menurun bahkan sampai puso atau gagal panen.

Suwandi (51), petani di Desa Manang, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, mengungkapkan, produktivitas panen terakhirnya turun 20 persen akibat serangan tikus. Untuk mengurangi serangan tikus, ia dan 20-an petani lainnya secara rutin menggelar geropyokan tikus bersama-sama. ”Kami pakai obat pembasmi tikus, tetapi hasilnya tidak seberapa. Lebih efektif dengan geropyokan bisa tangkap puluhan ekor, tetapi harus kompak,” kata Suwandi. (GRE/EKI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com