Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/05/2013, 15:17 WIB
Kontributor Bandung, Putra Prima Perdana

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com — Teriakan "Papua merdeka" justru menggema dari megafon milik kelompok Aliansi Mahasiswa Papua di tengah aksi demonstrasi ratusan buruh yang sedang memperingati Hari Buruh Internasional di depan gerbang Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (1/5/2013).

Dalam aksinya, para mahasiswa Papua itu menyuarakan dengan keras kebebasan hak masyarakat Papua untuk menentukan nasib sendiri sebagai salah satu solusi demokratis bagi rakyat Papua.

Dengan kata lain, 30 mahasiswa tanah Cendrawasih itu meminta kemerdekaan rakyat Papua. Mereka pun tak ragu memajang foto-foto korban kekerasan di tanah Papua yang dikatakan oleh para mahasiswa itu masih terjadi hingga saat ini. Teriakan-teriakan "Papua merdeka" tak pernah surut hingga aksi mereka berakhir pukul 11.00 WIB.

"Kalau dikatakan Papua merupakan bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia, red) itu omong kosong. Inti permasalahannya adalah, kami orang Papua cuma minta merdeka, tidak minta lain-lain," kata koordinator aksi, Frans Kotouki, saat ditemui di sela aksi.

Terkait masih adanya tindak kekerasan di tanah Papua, Frans mengaku hal tersebut juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keinginan rakyat Papua untuk memerdekakan diri.

"Kami ingin mengatur sendiri semua, mulai dari SDM hingga sumber daya alam yang ada di tanah Papua. Kami tidak mau lagi diatur oleh NKRI," kata pemuda yang terdaftar sebagai mahasiswa STIKes Bandung itu.

Keinginan Papua merdeka, tegas Frans, bukanlah keinginan dari para mahasiswa Papua yang tersebar di seluruh Indonesia. "Suara ini adalah suara dari seluruh lapisan masyarakat Papua yang sudah muak dengan kekerasan. Mereka dibunuh dan dibantai habis oleh oknum TNI dan Polri," ucapnya dengan nada bergetar.

Frans menambahkan, aksi ini sengaja dilakukan bertepatan dengan Hari Buruh Internasional. Sebab, 1 Mei dikatakannya bertepatan dengan penyerahan kekuasaan Papua Barat dari pemerintahan sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

"Kehadiran Indonesia tidak serta merta diterima oleh rakyat Papua. Ratusan ribu rakyat Papua tewas pasca-pemberlakuan Daerah Operasional Militer 1977-1998," bebernya.

Selain itu, mereka juga mengkritisi pembunuhan terhadap beberapa tokoh Papua, seperti Theis Eluay, Mako Tabuni, Huber Mabel, serta kasus Biak Berdarah, Abepura Berdarah, dan kasus-kasus kejahatan terhadap manusia yang tidak tuntas diselesaikan oleh Indonesia.

Dalam memperingati 50 tahun Aneksasi Papua ke dalam NKRI, Aliansi Mahasiswa Papua menuntut kepada PBB dan Indonesia untuk segera memberikan solusi kebebasan hak menentukan nasib sendiri, menarik militer (TNI-Polri) organik dan nonorganik dari seluruh tanah Papua.

"Kita juga menuntut untuk menghentikan eksploitasi dan menutup seluruh perusahaan milik kaum imperialis, seperti Freeport, Corindo, Medco, dan lain-lainnya," tegas Frans.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com