Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesenjangan Panggilan dengan Biaya Hidup Mengancam Guru

Kompas.com - 24/04/2013, 20:40 WIB
Windoro Adi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com— Kesenjangan antara panggilan dan biaya hidup yang makin lebar mengancam integritas guru, terutama guru di sekolah negeri. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diimbau segera memperkecil kesenjangan tersebut.

Demikian rangkuman wawancara terpisah dengan sosiolog UI, Prof Thamrin Amal Tomagola dan Doktor Imam Budidarmawan Prasodjo, serta Kriminolog UI, Prof Muhammad Mustofa, Rabu (24/4/2013).

Mereka menyampaikan hal itu menanggapi kasus seorang guru honorer di sebuah SD negeri di Penjaringan, Jakarta Utara, yang terlibat peredaran narkoba. "Gaji yang layak bagi seorang guru dengan anak dua untuk hidup sederhana di Jakarta itu, Rp 5 juta. Kurang dari itu, guru akan berusaha mencari pendapatan sampingan. Kalau pendapatan sampingan itu mampu menutup kesenjangan antara panggilan hidup dan biaya hidup keluarganya, maka tidak akan muncul kasus penyimpangan profesi guru," kata Thamrin.

Akan tetapi, ia lebih setuju kalau pemerintah memberi gaji minimum yang layak untuk hidup sederhana agar guru fokus pada dunia pendidikan yang menjadi panggilan hidupnya. Pemerintah, menurut Thamrin, harus tegas mengembangkan dan merawat profesi guru. Harus pasti berapa lama seorang guru menjadi guru honorer, lalu diangkat menjadi PNS (pegawai negeri sipil). "Harus juga dipastikan jenjang karier struktural dan fungsionalnya dengan sejumlah ganjaran yang bakal diterima setelah guru itu diangkat menjadi PNS," katanya,

Lewat dari masa sebagai guru honorer, kata Thamrin, dia harus diberhentikan dengan hormat. "Jangan membiarkan seorang guru menjadi guru honorer sampai belasan tahun tanpa kejelasan," tandas PNS golongan 4D bergaji Rp 3,4 juta sebulan itu.

Seperti diberitakan, Rhd (47) ditangkap anggota Kepolisian Sektor Tamansari, Jakarta Barat, saat mengendarai mobilnya di sekitar Jalan Kemukus, Tamansari, Sabtu (20/4/2013) pukul 22.00. Guru beranak enam ini sudah menjadi guru honorer selama 14 tahun dengan gaji setiap bulan Rp 2 juta.

Awalnya ia hanya pengguna narkoba. Sejumlah temannya lalu titip untuk dibelikan. Lama kelamaan, Rhd pun berjualan narkoba dalam jumlah kecil. Saat ditangkap, ia mengaku baru sebulan menjadi pengedar.

Gaya hidup

Thamrin berpendapat, situasi sosial, ekonomi, dan budaya, serta sistem pendidikan nasional di Tanah Air membuat panggilan hidup seorang guru tergerus menjadi sekadar pencari kerja, pencari uang. Menurut dia, industri gaya hidup dalam sistem sosial, ekonomi, dan budaya di Indonesia sekarang membuat masyarakat dirangsang semakin konsumtif dan tidak lagi sanggup hidup sederhana.

Setiap hari, melalui bermacam media, ratusan iklan menjejalkan barang-barang yang sebetulnya tidak dibutuhkan. "Guru tak bisa lagi hidup sederhana dengan panggilan hidupnya yang mulia. Akal sehat terabaikan. Di sisi lain, sistem pendidikan nasional lewat bermacam proyek sertifikasi dan kualifikasi dengan iming-iming tambahan pendapatan telah memacu guru mengejar jenjang, mengabaikan semangat pengabdian," tutur Thamrin.

Terpisah, Mustofa menyatakan, iklan dan gaya hidup konsumtif itu membuat panggilan mendidik tergerus. Guru tidak lagi melakukan edukasi, melainkan sekadar instruksi. Guru hanya menyampaikan ilmu, tidak lagi menyosialisasi dan melatih sistem nilai atau norma, adat istiadat, dan tradisi yang menyimpan banyak kearifan lokal pada anak didiknya.

Mustofa berpendapat, membiarkan guru honorer sampai 14 tahun seperti dalam kasus Rhd menunjukkan guru tersebut tidak kompeten. "Seharusnya segera diangkat menjadi PNS atau dihentikan jadi guru honorer," tandasnya.

Kriminolog ini menjelaskan, suasana hati seorang guru yang sudah tidak dihargai dan hidup miskin membuatnya mudah terjerat kejahatan. "Umumnya manusia yang berintegritas itu mengembangkan ego-nya lewat pujian dan penghargaan lingkungan atas prestasi yang ia capai. Ia juga perlu mengembangkan ego-nya lewat bermacam prasarana dan sarana bernilai ekonomis yang harus ia beli," papar Mustofa.

Sepengamatannya, kondisi sosial ekonomi di lingkungan guru sekolah negeri makin menjauh dari kondisi ideal untuk mengembangkan ego seorang guru.

"Dulu guru bisa mentraktir murid. Sekarang murid yang mentraktir guru. Bagaimana seorang guru bisa diharapkan profesional kalau gajinya tidak mencerminkan profesionalitasnya sebagai guru? Bagaimana seorang guru bisa independen menyosialisasikan tentang budi pekerti kalau hidupnya tergantung dari murid atau orangtua muridnya?" ucap Mustofa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com