Banda Aceh, Kompas -
”Apa yang terjadi pada Di, dan yang terakhir kasus pemerkosaan oleh seorang tokoh masyarakat di Kuta Malaka, Aceh Besar, itu benar-benar membuat masyarakat khawatir. Ini karena ancaman kejahatan ada di sekitar anak-anak kita. Dari siapa pun dan kapan pun,” ujar Nurjanah Husain, ibu rumah tangga yang menjadi peserta aksi demo di Banda Aceh, Selasa (16/4), menyusul maraknya kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Di merupakan bocah berusia 6 tahun yang meninggal setelah dibunuh dan diperkosa pamannya pada 24 Maret di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Adapun kasus pemerkosaan yang terakhir menimpa siswi sekolah di Kecamatan Kuta Malaka, Aceh Besar, yang dilakukan Aw (60) yang juga guru bantu dan tetangga korban.
Menurut Nurjanah, latar belakang pelaku yang demikian dekat dan tergolong tokoh menggambarkan posisi anak-anak dalam posisi rawan terhadap kekerasan seksual.
Peserta aksi demo lainnya, Yanti Oktiva (30), meminta agar tak ada kelonggaran hukuman terhadap pelaku, yaitu Am, pemerkosa yang pernah diberikan kelonggaran sehingga mengulang kembali perbuatannya dengan memerkosa dan membunuh Di. ”Penegak hukum harus tegas. Hukum berat pelaku pemerkosaan, apalagi anak-anak. Jika perlu dirajam saja,” katanya.
Ketua Presidium Balai Syura Urueng Inong Aceh Nursiti mengungkapkan, ancaman kekerasan seksual terhadap anak harus menjadi perhatian Pemerintah Aceh. Kekerasan perempuan dan anak di Aceh cukup besar. Sebelum kasus Di, sepanjang 2011-2012 terjadi 1.060 kasus pelecehan dan pemerkosaan.
Menyusul kasus percabulan terhadap 14 siswi SMP oleh kepala sekolahnya di Kota Batam, Kepulauan Riau, pemerintah setempat menyiapkan psikolog untuk mendampingi para korban.
Wakil Wali Kota Batam Rudi mengatakan, psikolog segera menemui para korban. Mereka perlu didampingi agar pulih sebelum mengikuti ujian nasional.(HAN/RAZ)