Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prinsen Park, Kenangan akan Taman Budaya

Kompas.com - 12/04/2013, 04:04 WIB

Prinsen Park 1947, pukul 19.00. Laila Sari (78), yang saat itu baru berusia 12 tahun, bersama beberapa temannya menggangsir tanah dan membuat lubang di depan pagar seng bioskop ”open bar” dengan kedua telapak tangan masing-masing. Begitulah cara Laila dan teman-teman sebayanya ”nonton” film gratis. Windoro adi

”Kala itu, harga tiket untuk empat anak setali (25 sen). Kalau kami punya sedikit uang, kami ikut mengantre, membeli tiket. Beberapa teman yang tak memiliki uang ikut mengantre. Saat antrean padat, mereka mengendap dan menyelusup masuk,” kenang Laila, salah satu artis tiga zaman yang lahir dan tumbuh di Prinsen Park, saat ditemui di rumahnya di Jalan Badila I, RT 003 RW 004, Jumat (29/3) pukul 15.00, tak jauh dari permukiman Tangkiwood.

Dari tahun 1920 sampai 1950-an, Tangkiwood dikenal sebagai permukiman artis, sementara Prinsen Park, yang kemudian bernama Lokasari di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat, menjadi pusat industri hiburan tontonan di Batavia. Kedua lokasi berada di Kelurahan Tangki, Kecamatan Tamansari, Jakbar. ”Tangkiwood tumbuh setelah Prinsen Park ramai,” tutur budayawan Remy Silado yang dihubungi terpisah.

Awalnya, Prinsen Park adalah satu di antara taman kota di Batavia, seperti Deca Park di kawasan Monas, Hertog Park di kawasan Pejambon, dan tentu saja taman indah terbesar, Wilhelmina Park, yang kini menjadi Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Meski demikian, para seniman lebih suka berkumpul, berbincang berbagi ide, dan berlatih di Prinsen Park. Mereka kemudian membangun bedeng-bedeng pertunjukan di sana.

Prinsen Park mulai ”menyala” setelah kelompok Komedi Stamboel asal Surabaya, Jawa Timur, manggung di sana tanggal 30 Maret-24 Mei 1894, dengan penghasilan bersih 10.000 gulden. Hal ini memicu tumbuhnya kelompok komedi lainnya. Sejumlah bangunan pertunjukan sederhana pun bermunculan di Prinsen Park.

Peneliti Fandy Hutari menulis, tidak seperti para pemain Komedi Stamboel yang umumnya masih berdarah Indo, para pemain komedi kelompok baru ini menampilkan para pemain pribumi. Meski demikian, mereka masih menggunakan resep tontonan Komedi Stamboel berupa dansa tango, kabaret, tablo, waltz, dan polka dengan kostum ala bangsawan Barat.

Mereka tak mengenal naskah panggung. Semua percakapan di panggung adalah hasil improvisasi karena para pemainnya masih buta huruf.

Tahun 1920-an, muncul kelompok Opera Melayu. Sebagian pemainnya tinggal di belakang Prinsen Park, diikuti para pemain kelompok komedi lainnya. Sejak itulah muncul permukiman artis yang oleh almarhum Bing Slamet kemudian diproklamirkan sebagai permukiman artis Tangkiwood.

Laila mengatakan, permukiman artis semakin berkembang setelah Tan Hin Hie (1891-1969), yang kemudian menjadi pemilik kompleks Lokasari, mendirikan bilik-bilik penginapan bagi para pemain komedi. ”Dindingnya dari anyaman bambu, sementara atapnya dari seng. Hin Hie berinisiatif membangun bilik-bilik ini karena kasihan melihat banyak pemain panggung keleleran tidur di panggung,” ungkap Laila.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com