Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi Berlabel Amuk Massa

Kompas.com - 04/04/2013, 02:31 WIB

M DARWIS

Amuk massa di Kota Palopo mengejutkan berbagai kalangan masyarakat. Berjarak sekitar 300 km dari Makassar, Sulawesi Selatan, Palopo adalah kota kecil, ibu kota Kerajaan Luwu pada masa lalu.

Kehidupan sosial masyarakat yang relatif aman dan damai ternyata menyimpan bibit konflik laten. Muncul amuk massa pada Minggu (31/3) ketika hasil pemilihan wali kota dianggap sarat kecurangan. Tindakan anarki pendukung calon wali kota itu tentu saja tak menunjukkan ciri dan karakter ”Wija to Luwu” yang senantiasa menjunjung tinggi sportivitas dan kesediaan menerima perbedaan. Inilah nilai-nilai yang mereka warisi dari nilai budaya Kerajaan Luwu. Dalam kisah Sawerigading, kejayaan Kerajaan Luwu yang heroik diceritakan telah melanglang buana ke negeri China, bahkan mempersunting putri kerajaan China, We Cudai. Artinya, masyarakat Luwu bisa bergaul dan menerima bangsa lain ke dalam kehidupan sosialnya. Peristiwa amuk massa mementahkan anggapan itu.

Penduduk Kota Palopo pada dasarnya adalah majemuk. Meski suku utamanya Luwu, beragam etnis ada di sana, termasuk transmigran, demikian pula agama dan identitas sosial lainnya. Palopo adalah gambaran Indonesia mini. Masyarakat Palopo secara politik dan ekonomi cenderung tidak memiliki kehendak bersama. Dengan demikian, Kota Palopo dapat dikategorikan daerah rawan konflik atau memiliki kondisi disintegratif.

Tindakan anarki cenderung menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia belakangan ini. Freek Colombijn dan J Thomas Lindblad dalam Roots of Violence in Indonesia (2000) menyatakan, kekerasan bukan lagi dampak dari situasi yang khaos, melainkan cenderung suatu upaya penyelesaian masalah dalam situasi permisif di Indonesia.

Pembiaran aparat

Beberapa hari sebelum terjadi amuk massa, perbincangan hangat berlangsung di kalangan warga baik di pasar maupun di warung kopi di Kota Palopo. Mereka memperkirakan akan terjadi khaos antarpendukung, bahkan media massa di Makassar pun sudah memberitakannya. Namun, aparat keamanan tak menunjukkan kesiapan mengantisipasi kejadian, terutama menempatkan aparat di lokasi perusakan. Aparat hanya berjaga di KPU Palopo. Sementara tempat vital lain luput dari penjagaan. Karena itu, wajar bila opini yang berkembang di masyarakat, baik di Makassar maupun di Kota Palopo, aparat keamanan melakukan pembiaran. Mereka bahkan menuding, kejadian itu hasil rekayasa karena gedung dirusak dalam waktu bersamaan, sedangkan aparat yang bertugas saat kejadian terbatas.

Dwia Aries Tina dalam Kekerasan Komunal dan Damai, Studi Konflik Sosial Luwu (2005) menemukan setidaknya ada tiga faktor kondisional yang menjadi penyebab konflik mendasar dan satu faktor utama penyebab: 1. Hilangnya katup pengaman konflik, yang bekerja secara meluas dan institusional bagi masyarakat Luwu, 2. Hilangnya kekuatan pengikat masyarakat yang biasanya dijalankan kekuasaan elite secara adil. Sebaliknya, yang ada adalah kecenderungan elite pemerintah memihak kepentingan pasar dan kapitalis sehingga mengondisikan terjadi perampasan sumber daya dan penyempitan ruang hidup sosial antarwarga, 3. Terdapat kondisi struktural bagi masyarakat dalam bentuk modernisasi dan pembangunan yang mengondisikan terjadi kompetisi ekonomi antarwarga, 4. Konflik sosial yang terjadi di tingkat komunitas tak dikelola efektif oleh pemerintah dan komunitas yang berkonflik.

Keempat faktor itu berperan mengondisikan amuk massa di Kota Palopo, dan kemudian memacu lebih ke bentuk perilaku, bukan hanya dalam batas sikap. Inilah yang ditandai dengan adanya kekerasan ”menghancurkan” properti milik pemerintah dan swasta sebagai simbol perlawanan atas ketidakadilan yang dianggap dilakukan

penyelenggara pemilu wali kota beserta jajarannya. Kondisi diperparah pembiaran aparat keamanan dengan tidak menyiapkan personel yang memadai dan mengesampingkan informasi intelijen daerah. Padahal, perbincangan warga marak di mana-mana tentang akan adanya kelompok yang tak puas dengan hasil penetapan KPU Palopo.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com