Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Surga Wisata Raja Ampat, Warga Tersisih

Kompas.com - 31/03/2013, 23:06 WIB
Irene Sarwindaningrum

Penulis

KOMPAS.com — Kemiskinan membingkai keindahan alam Raja Ampat. Primadona wisata di Indonesia Timur itu baru menjadi surga bagi turis, tapi belum bagi banyak warganya. Turisme bahkan menghadirkan masalah baru, yaitu penjarahan makam kuno leluhur mereka.

Kemiskinan Desa Wawiyai di Teluk Kabui, Raja Ampat, memantul di air lautnya yang tenang dan bening. Gubuk-gubuk panggung dari papan seadanya berdesakan memanjang di sekitar dermaga. "Kitorang trada rasa hidup di surga," kata Ananias Marindal, salah satu warga tertua di Wawiyai, Kamis (14/3/2013), memberi gambaran kehidupan sehari-hari di desa itu.

Kemiskinan warga Wawiyai yang seluruhnya berjumlah sekitar 200 orang, terlihat dari kehidupan sehari-hari di desa itu. Tak ada barang mewah di sana. Televisi pun belum dimiliki seluruh warga.

Ananias dulunya nelayan. Kini, seperti banyak warga Wawiyai lain, ia lebih banyak berburu burung kakatua putih berjambul kuning (Cacatua alba) yang dalam bahasa setempat disebut yakob. Yakob hidup dijual pada pengepul dari Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Seekor burung dihargai Rp 150.000.

Ananias mengaku, menangkap rata-rata lima kakatua setiap bulan. Ia berburu dengan dua yakob peliharaannya. Dua yakob itu bertugas sebagai umpan untuk menarik kakatua liar. Dua satwa itu tentu bisa bicara bahasa burung. "Kalau teman dia sudah datang, torang jerat memakai tali," kata Ananias, menerangkan caranya berburu.

Pekerjaan memburu kakatua menjadi pilihan, karena lebih menguntungkan dan lebih mudah daripada melaut. Apalagi, solar yang menjadi bahan bakar melaut sulit diperoleh di Wawiyai. Meski begitu, Ananias belum sejahtera. Uang yang ia peroleh habis hanya untuk makan sehari-hari.

Dalam usianya yang begitu renta, sekitar 75-an tahun, Ananias masih harus menghidupi 10 orang terdiri atas anak, menantu, dan cucunya. Mereka tinggal di rumah papan yang nyaris tanpa perabotan. Satu set meja kursi terlihat begitu lusuh dan tua.

Kemiskinan di Desa Wawiyai itu begitu kontras dengan kemewahan perahu-perahu pesiar yang kerap bersandar di batas luar Teluk Kabui. Di perahu-perahu itu, listrik menyala terang-benderang 24 jam. Sementara di Wawiyai, listrik yang ditenagai genset dan sel surya hanya menyala beberapa jam dalam sehari. Perahu-perahu bak hotel bintang lima yang umumnya dimiliki orang asing itu, juga berkelimpahan dengan bahan bakar minyak yang saat ini begitu sulit diperoleh di Wawiyai.

Wawiyai tersembunyi di balik barisan puluhan bukit kapur (karst) yang mencuat dari lautan Teluk Kabui. Barisan tebing raksasa itu tak hanya membentengi desa kecil itu dari ombak lautan lepas, tapi juga memberi pemandangan menakjubkan lengkap dengan gua-gua lautnya. Karena keeksotisan alamnya, Teluk Kabui menjadi salah satu tujuan wisata di Raja Ampat. Namun, turisme belum menghadirkan kesejahteraan di Wawiyai. Sebagian besar pelancong hanya melintas dan jarang mampir. Hal ini bisa dipahami karena di Wawiyai tak ada fasilitas wisata yang dapat menarik turis.

Penjarahan makam kuno

Tak hanya itu, warga Wawiyai juga mengeluh pencurian makam kuno sejak terbukanya pariwisata ke Teluk Kabui. Salah satu dari tiga kepala adat di Wawiyai, Gerson Marindal, memperkirakan ratusan barang hilang dari makam kuno mereka. Barang-barang yang hilang meliputi tengkorak dan bekal kubur berupa patung kayu dan piring keramik. "Torang trada tahu pasti berapa jumlah hilang. Dulu banyak tengkorak di sana, sekarang tertinggal satu dua," kata lelaki sekitar 70-an tahun itu, kepada rombongan wartawan yang datang ke Raja Ampat bersama PT Pelindo II atau International Port Corporation.

Pemakaman tanpa dikubur merupakan tradisi masa lalu banyak desa yang dihuni suku asli di Raja Ampat. Jenazah diletakkan di ceruk-ceruk tebing kapur di perairan sekitar desa. Meskipun tak lagi dilakukan, warga masih menganggap sakral makam-makam kuno itu dan membersihkannya secara rutin pada hari-hari tertentu.

Kehilangan itu pernah diadukan ke pemerintah setempat, tetapi tak ada tanggapan memuaskan. Permintaan bantuan untuk membangun pos penjagaan atau kapal cepat (speedboat) untuk patroli pun tak dipenuhi. Alasan yang diterima adalah desa mereka tak termasuk kawasan wisata.

Padahal, pada bulan Desember-Agustus, setidaknya dua kapal cepat yang mengangkut turis masuk ke wilayah adat perairan mereka. Speedboat mereka butuhkan karena selama ini perahu-perahu nelayan mereka yang bermesin 15 dan 40 PK tak mampu mengejar speedboat para turis.

Tokoh pemuda Raja Ampat, Abraham Goran Gaman (43), mengatakan, penjarahan makam kuno terjadi sejumlah desa di Raja Ampat di Misole, Teluk Maya Libit, dan Teluk Kabui. Diperkirakan terdapat 10 makam kuno di Raja Ampat berusia sekitar 300 tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com