Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ritus Kure, Jejak Awal Penyebaran Katolik di Timor

Kompas.com - 28/03/2013, 03:32 WIB

Gereja Katolik di Nusa Tenggara Timur usianya kini sekitar 500 tahun. Catatan itu merujuk kunjungan perdana pedagang bersama misionaris Katolik asal Portugis ke Timor dan Solor pada abad ke-16 setelah armadanya menguasai Malaka tahun 1512. Ritus kure yang hingga kini tetap bertahan di Noemuti Kote adalah jejak awal penyebaran Katolik di Timor. FRANS SARONG

oemuti Kote adalah kampung tua dalam wilayah Kelurahan Noemuti, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara di Pulau Timor bagian Nusa Tenggara Timur. Posisinya sekitar 180 kilometer sebelah timur Kota Kupang atau 18 km sebelum Kefamenanu, kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Kampung itu sekitar 2 km dari persimpangan jaringan jalan utama Lintas Timor di Bijeli, kampung tetangga Noemuti Kote.

Gereja Katolik NTT sebenarnya masih menyisakan dua ritus tua yang merupakan jejak awak penyebaran Katolik di kawasan itu. Satu lainnya bernama semana santa di Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur. Apakah semana santa atau kure, kedua tata cara keagamaan itu, sama-sama peninggalan Portugis. Juga sama-sama digelar oleh umat Katolik serta merupakan rangkaian perayaan Paskah.

Bedanya, semana santa berlangsung pada Jumat Agung. Wujudnya berupa prosesi atau perarakan patung Bunda Maria dan patung kanak-kanak Yesus, sarana keagamaan Katolik peninggalan Portugis. Kegiatan prosesinya menyinggahi 14 titik perhentian yang lazim disebut armida. Inti perayaan itu sebenarnya mengenang kepedihan Bunda Maria ketika menyaksikan kisah penghakiman atas putranya, Yesus, hingga wafat di kayu salib di Golgota. Ritus tua itu adalah jejak awal penyebaran Katolik di Flores.

Agak berbeda dengan semana santa, ritus kure di Noemuti Kote puncaknya berlangsung pada Kamis malam atau sesaat setelah umat mengikuti perayaan Kamis Putih di gereja setempat. Wujudnya, mereka secara bersama dan sambil berdoa mengunjungi 18 ume mnasi (rumah induk suku-suku) di Noemuti Kote. Jumlah ume mnasi itu merujuk jumlah suku sebagai ahli waris pendukung ritus unik tersebut.

Tidak langsung bubar

Tetua utama di Noemuti Kote, Yoseph Namo Salem (73), mengakui, warga kampung itu hingga sekarang tetap menggelar ritus kure. ”Kure itu kebanggaan kami karena hanya ada di Noemuti Kote. Kami akan tetap mempertahankannya sampai kapan pun,” tutur Namo di kampungnya itu, Selasa (12/3) siang.

Kebanggaan dan pernyataan senada dilontarkan oleh Daniel Salem (68) dan Alex da Costa, juga tetua asal Noemuti Kote yang kini menetap di Kota Kupang.

”Saya bersama keluarga hampir setiap tahun mengikuti prosesi kure di Noemuti Kote,” tutur Daniel Salem yang adalah pensiunan anggota Polri sejak 10 tahun lalu.

Marga Salem adalah satu dari 18 suku pendukung kure di Noemuti Kote. Sementara 17 suku lainnya yaitu suku Meol, Neonbanu, Helo, Kosat, Silab, Mandosa, Meko, Oetkuni, Taesmuti, Menbam, Uskono, Vios, Woesala, Laot, Lopis, Nitjano, dan Manhitu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com