Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Shakespeare di Lereng Merapi

Kompas.com - 17/03/2013, 04:25 WIB

Thomas Pudjo Widijanto

Kebudayaan yang datang dari mana pun dalam rentang waktu kapan pun bisa selalu mengejawantah dalam relung-relung nurani manusia. Tradisi yang datang dari Inggris pada abad ke-16 bisa saja luluh kini di lereng Merapi.

Itulah yang terjadi ketika menyaksikan pentas teater kolosal anak-anak Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Senin (11/3) malam. Anak-anak di lereng Merapi yang relatif jauh dari buku-buku drama, jauh dari literatur, jauh dari kedalaman multimedia, bisa memainkan lakon adaptasi karya William Shakespeare, A Midsummer Night’s Dream.

Pentas yang mengangkat naskah Barat dan mengisahkan percintaan masa Yunani kuno ini begitu lunaknya ketika diadaptasi dalam kultur dan peradaban warga Dusun Tutup Ngisor, sebagai masyarakat agraris. Masyarakat petani yang sangat terbuka dan menempatkan kesenian (baca: kebudayaan ) sebagai urat nadi kehidupan baik secara individual maupun komunal.

Antropolog Perancis, Catherine ”Kati” Basset, menjadi sutradara sekaligus penulis naskah pementasan ini dan Nicolas Gonzales aktor di Théâtre National Populaire Perancis yang menjadi pengatur laku. Sudah bisa ditebak, dua tokoh inilah yang memperkenalkan anak-anak lereng Merapi dengan William Shakespeare, pengarang Inggris yang hidup di tahun 1564-1616.

Lakon Shakespeare diadaptasi menjadi Impen Wengi ing Merapi (Mimpi Malam di Merapi). Ini satu cara untuk mempermudah pengakraban materi kisah dengan para pelakonnya.

”Saya membayangkan lakon ini dari lereng Merapi, seperti ada keyakinan mungkin kalau Shakespeare masih dan melihat kondisi lereng Merapi dengan segala alam dan keseniannya, tentu akan senang,” kata Catherine. Pemahamannya sebagai antropolog, terdapat nilai-nilai yang sama dalam budaya Barat dan Timur dan itu berlangsung jauh sejak masa kehidupan Shakespeare. Budaya seperti menjadi pencair dalam pergaulan umat manusia.

”Perbedaan Barat dan Timur hanyalah sebuah nuansa politis yang diciptakan oleh manusia,” kata Catherine.

Apakah nilai-nilai budaya zaman Shakespeare itu, seperti apa yang dibayangkan oleh Tanto Mendut, pemerhati budaya sekaligus pegiat seni orang-orang gunung, bahwa ketulusan dan keikhlasan itu nyata? Tanto Mendut membaca peristiwa pentas ini sebagai sebuah masa silam atau sejarah yang mampu membuktikan mencairnya komunikasi lintas personal dan lintas peradaban.

Makanan gratis terus mengalir sejak siang hari, yang secara tulus dan ikhlas disuguhkan warga, entah berupa jadah, wajik, kacang godok, tahu, dan makanan pedesaan lainnya. Semuanya untuk para penonton yang datang pada pentas itu. Bagi Tanto, peristiwa yang mirip hajatan orang pedesaan ini merupakan sebuah fenomena hidup di tengah kehidupan manusia sekarang yang serba berhitung untung dan rugi. Di tengah kehidupan yang pesta pora miliaran rupiah dari hasil korupsi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com