Oleh ASEP SALAHUDIN
Muhammad bukan hanya seorang Nabi, melainkan sekaligus politisi. Politik di sini tidak sekadar berkaitan dengan hasrat kuasa, tetapi juga dalam makna yang lebih luas—dalam tilikan Michel Foucault—berhubungan dengan institusi budaya, sosial, agama, bahkan pengetahuan. Kekuasaan dalam arti vertikal (mandat individual) dan horizontal-sosial (mandat sosial).
Dalam praktiknya, hampir dipastikan tak ada orang yang terlepas dari politik dan tak mungkin melepaskan diri dari politik. Watak manusia memang makhluk politik, zoon politicon, yang senantiasa didiskusikan, baik menyangkut perilaku maupun basis yang menjadi pijakannya. Sebut saja ada masanya ketika politik itu dijangkarkan pada rasionalisme, individualisme, materialisme, dan metafisika ketuhanan.
Semua fundamen politik itu membayangkan sebuah hasrat tergelarnya kesejahteraan umum dan terbangunnya keadaban publik. Aristoteles menyebutnya dengan tujuan meraih kebaikan utama (highest good) atau ruang berkeadaban (al-madinah al-fadhilah) dalam term Al-Farabi. Dalam nalar falsafah kita diwadahi spirit Pancasila yang berporos pada semangat: ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Tentu saja politik yang diusung Muhammad SAW lebih mengarah pada politik berbasis kekuatan nilai, yang dijangkarkan kepada tautan metafisik dengan segala sanksi moral dan penghargaan transendental di belakangnya. Tak ubahnya tema nilai yang diusung khas nabi-nabi Ibrani lainnya.
Demi tersampaikannya nilai-nilai ini, Muhammad SAW bukan sekadar berbicara sebatas wacana baik-buruk, sehat-sakit, indah-jelek, sederhana-bermegahan, melainkan langsung menjadikan nilai itu sebagai bagian integral dari perilakunya.
Keteladanan lebih dikedepankan ketimbang perbincangan. Falsafah politiknya bukan hanya menjadi ”renungan”, melainkan sekaligus ”tindakan”; tidak sebatas ”wacana”, tetapi juga ”aksi nyata”. Contoh konkret menjadi strategi utama dalam menanamkan nilai-nilai politik itu dalam batang tubuh bermasyarakat.
Politik simbolik-imajiner yang terumuskan dalam senarai firman Tuhan (musyawarah, toleransi, lapang dada, keterbukaan, relasi antaragama, distribusi ekonomi, keadilan, kejujuran, transparansi, amanah, kecerdasan nalar) diturunkan menjadi ”yang riil” melalui langkah-langkah konkret yang tampak dan jelas.