Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspadai Penyebaran Flu Itik

Kompas.com - 15/01/2013, 16:42 WIB

KOMPAS.com - Hanya dalam waktu tiga bulan, virus flu burung H5N1 varian 2.3.2 yang semula menyerang itik di Brebes, Jawa Tengah, menyebar ke 69 kabupaten/kota di 11 provinsi Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Bali. Saat ini virus telah mematikan lebih dari 242.000 itik.

Gejala itik yang terserang flu burung adalah nafsu makan turun, mata keputihan, leher terputar atau terbalik (tortikolis), kejang-kejang, dan sulit berdiri. Untuk itik petelur, produksi telurnya berkurang drastis secara tiba-tiba.

Virus flu burung dalam konsentrasi tinggi ada pada lendir dan kotoran itik. Kebiasaan itik yang gemar mematuk-matuk bulunya dengan paruh membuat virus banyak berada di bulu itik.

”Dari sini virus menyebar melalui air dan udara,” kata Koordinator Unit Pengendali Penyakit Avian Influenza Pusat, Kementerian Pertanian, M Azhar, di Jakarta, Rabu (9/1/2013).

Itik merupakan binatang air sehingga selalu mencari daerah berair. Karena itu, itik banyak ditemui di sawah berair dan sungai. Kandangnya terletak dekat sungai atau saluran air.

Saat bercampur dengan air, virus di lendir, kotoran, atau bulu itik terbawa aliran sungai. Selama musim hujan, banjir membawa virus menjangkau daerah lebih luas hingga permukiman warga.

Virus bisa bersentuhan dengan unggas lain sehingga meningkatkan risiko penyebaran dan penularan flu burung. Penelitian menunjukkan, flu burung varian 2.3.2 bisa menyerang itik manila (entok) dan ayam kampung. Virus juga bisa menular ke manusia.

Selain terbawa air dan udara, virus juga menyebar melalui perdagangan itik antardaerah dan antarpulau. Menurut Ketua Harian Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis (KNPZ) yang juga Deputi Bidang Koordinasi Kesehatan, Kependudukan, dan Keluarga Berencana, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Emil Agustiono, ”Buruknya kontrol lalu lintas perdagangan itik membuat flu burung cepat menyebar.”

Bioterorisme

Azhar mengatakan, sebelum ditemukan varian virus baru, Indonesia dianggap sukses mengendalikan flu burung karena hanya ada satu virus, H5N1 subkelompok 2.1.3, yang banyak menyerang ayam. Munculnya varian virus 2.3.2 membuat penanganan flu burung makin kompleks.

Kondisi itu memunculkan dugaan bioterorisme untuk menghancurkan industri unggas Indonesia. Saat ini, Indonesia mampu berswasembada daging dan telur unggas.

Produksi ayam pedaging dan petelur Indonesia menduduki peringkat ketujuh dunia dengan 1,4 miliar ayam. Sejumlah negara berusaha memasukkan karkas dan paha ayam. Namun, hal itu ditolak dengan alasan kehalalan.

Jika sampai ayam dan unggas lain terserang virus subkelompok 2.3.2, industri unggas Indonesia bisa hancur. Pintu impor dari negara-negara yang belum terserang flu unggas bisa dibuka. Itu akan membuat industri unggas dalam negeri terpuruk.

Munculnya isu bioterorisme tak terlepas dari belum diketahuinya asal-usul virus flu burung yang menyerang itik di Brebes. Emil mengatakan, masuknya virus ke Brebes diduga dibawa burung liar yang bermigrasi.

Pernyataan ini cukup beralasan. Varian virus 2.3.2 ditemukan pertama kali pada burung-burung liar di Danau Qinghai, China, Mei 2005. Burung menyebar ke sejumlah negara Asia Timur lain hingga ke India, bahkan Bulgaria dan Romania.

Penularan lewat migrasi burung liar didukung kondisi peternakan itik di Brebes yang tidak dikandangkan. Potensi kontak burung liar dengan itik besar.

Kemungkinan kedua, menurut Emil, virus masuk melalui perdagangan bibit itik dari negara lain yang tak terkontrol kesehatannya. Bibit itik di Brebes memang didatangkan dari luar Brebes. Emil enggan menyebut asal negara impor. Yang jelas, bibit itik masuk melalui sejumlah pelabuhan di Jakarta sebelum dikirimkan ke Brebes.

Ketua Panel Ahli KNPZ Amin Soebandrio mengatakan, virus 2.3.2 yang menyerang itik bukan merupakan mutasi virus flu burung varian 2.1.3. Mutasi virus umumnya terjadi dalam satu kelompok virus, seperti kelompok 2.1 yang memiliki varian virus 2.1.1 dan 2.1.3. Namun, untuk bermutasi dari kelompok 2.1 ke 2.3 sangat sulit terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com