Jakarta, Kompas -
”Hujan ekstrem di wilayah tropis menjadi bumper atau penghadang ekstrem dingin dan panas,” kata Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian, Jumat (11/1), di Jakarta.
Dingin ekstrem di Rusia dan China menimbulkan seruak dingin ke tenggara. Dampaknya tak sampai di Kepulauan Natuna, tetapi udara dingin itu turut memicu proses terjadinya hujan.
Saat bersamaan, panas ekstrem di Australia menghangatkan wilayah perairan Indonesia. Kondisi itu memicu penguapan yang membentuk awan hujan secara merata. Perbedaan tekanan udara juga menimbulkan angin kencang dan siklon tropis Narelle di Samudra Hindia, sekitar 950 kilometer selatan Denpasar, Bali.
Keberadaan badai di selatan Indonesia juga membuat wilayah selatan terdampak angin kencang dan curah hujan tinggi. ”Ini karena ekor badai,” kata pakar meteorologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Tri Handoko Seto.
Sementara itu, ahli meteorologi dari Departemen Meteorologi Institut Teknologi Bandung, Zadrach Ledoufij Dupe, mengatakan, cuaca ekstrem punya periode ulang, seperti dingin terburuk di China yang berlangsung 28 tahun lalu dan badai salju ekstrem di Timur Tengah 30 tahun lalu. ”Periode ulang itu
Untuk memastikan terjadinya perubahan iklim, lanjut Zadrach, masih butuh data statistik lebih lama. Rekor panas di Hobart (ibu kota Tasmania) hingga 41,8 derajat celsius bisa dipahami bahwa perubahan iklim sudah terjadi. ”Setidaknya, pada komponen iklim humanosfer, akibat ulah manusia yang meningkatkan laju pemanasan global,” katanya.
Data statistik kondisi kriosfer atau tutupan es juga perlu diketahui. Besar kemungkinan tutupan es tersebut kini mengecil.
Secara khusus, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Mulyono Prabowo menyatakan perlunya kewaspadaan maritim. Gelombang tinggi masih akan terjadi hingga beberapa hari ke depan meskipun siklon Narelle mulai menjauh dari perairan selatan Indonesia, mendekati daratan Australia barat.