Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wawancara dengan Wali Kota Lhokseumawe soal Duduk "Mengangkang"

Kompas.com - 06/01/2013, 15:05 WIB
Mohamad Burhanudin

Penulis

KOMPAS.com Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, memberlakukan larangan bagi perempuan duduk mengangkang saat diboncengkan dengan sepeda motor. Hal itu tertuang dalam surat edaran yang ditandatangani Wali Kota Lhokseumawe Suadi Yahya, Rabu (2/1/2013).

Sontak, rencana tersebut menjadi pembicaraan hangat publik di Aceh, bahkan mancanegara. Tak hanya di media arus utama, di media sosial seperti Facebook dan Twitter pun banyak yang membincangkannya. Demikian pula di kedai-kedai kopi yang banyak tersebar di seluruh negeri ini.

Kritik pun berhamburan. Para pihak yang kontra dengan ketentuan ini berpandangan, tak ada ketentuan dalam Syariat Islam yang mengatur mengenai larangan duduk mengangkang di sepeda motor bagi perempuan. Selain itu, ketentuan tersebut juga dianggap melanggar hak asasi perempuan di jalan raya. Banyak kalangan juga menilai, duduk mengangkang bagi perempuan juga lebih aman daripada duduk menyamping saat dibonceng.

Akan tetapi, Pemerintah Kota Lhokseumawe bergeming dengan beragam kritik masyarakat. Mereka tetap keukeuh dengan keputusan itu. Lalu, apa sebenarnya alasan mereka? Berikut wawancara Kompas dengan Suadi Yahya (SY) yang didampingi Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe, Dasni Yuzar (DY), Jumat (4/1/2013) lalu.  

Apa yang melatarbelakangi Pemerintah Kota Lhokseumawe mengeluarkan kebijakan pelarangan duduk mengangkang bagi perempuan saat diboncengkan dengan sepeda motor?  

SY: Ini adalah bentuk respons saya, atas keinginan para ulama yang tergabung dalam MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama), MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh), dan juga MAA (Majelis Adat Aceh), yang menyampaikan perlunya melaksanakan Syariat Islam dan adat istiadat Aceh secara kaffah dan lebih baik.  

Selain itu, kami juga ingin kembali mengangkat budaya dan adat istiadat Aceh dalam kehidupan bermasyarakat yang mulai ditinggalkan. Dalam budaya Aceh itu dikenal dengan budaya malu, salah satu bentuk dari budaya ini adalah kalau naik kereta (sepeda motor) duduknya menyamping bagi perempuan. Duduk menyamping ini tujuannya agar marwah dan martabat perempuan tetap terhormat di jalan raya, demikian pula dengan kemuliaannya. Kemuliaan wanita tak sama dengan laki-laki, memang harus berbeda. Jika duduk mengangkang, seakan-akan wanita itu seperti laki-laki, padahal keindahan dan kemuliaan wanita ada pada kelembutannya.

Selain itu, dengan duduk menyamping, wanita akan terhindar dari duduk peluk-pelukan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya di atas sepeda motor. Selama ini kita lihat di jalan raya, banyak perempuan dan laki-laki yang duduk berpeluk-pelukan, padahal bukan muhrimnya. Ini tentu bertentangan dengan Syariat Islam dan adat istiadat budaya Aceh.

Adat istiadat Aceh dari dulu pun sudah seperti itu.  

DY: Aceh sudah memiliki Qanun Syariat Islam. Artinya, kita harus menjalankan sebaik-baiknya, termasuk perlunya ketentuan penghormatan terhadap martabat wanita di jalan raya berupa larangan untuk duduk mengangkang saat diboncengkan. Semestinya tak hanya di Lhokseumawe, tetapi seluruh Aceh pun demikian. Apalagi di tengah situasi Aceh yang sedang krisis identitas ini.  

Kapan ketentuan ini akan diberlakukan?  

SY: Terhitung tanggal 2 Januari 2012 lalu saya sudah menandatangani surat edaran mengenai larangan ini. Sifatnya sekarang ini adalah imbauan kepada masyarakat. Baru kemudian teguran di lapangan, baru kemudian tindakan.  

Setidaknya imbauan ini sampai dua bulan ke depan. Nanti setelah itu akan dievaluasi lagi, bagaimana perkembangannya. Apabila sudah bisa dipahami oleh masyarakat, akan kita bahas apa perlu dibuatkan perbub atau qanun untuk mengaturnya. Kami akan duduk dengan para ulama dan elemen masyarakat lainnya. Baru kemudian bisa kami berlakukan sanksi, tentunya sanksi yang tak menyakiti. Islam itu lembut, mengayomi. Aturan ini tujuannya bukan untuk menyusahkan masyarakat, tapi membawa umat ke arah yang lebih baik, teratur, baik untuk laki-laki maupun perempuan.  

DY: Untuk tahap awal ini aturan cukup kepada pegawai negeri sipil (PNS) di Lhokseumawe. Kepada masyarakat hanya diimbau.  

Ketentuan Syariat Islam yang mana yang menjadi dasar keluarnya larangan ini?  

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com