Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara Fragmentasi dan Jebakan Korupsi

Kompas.com - 13/12/2012, 12:53 WIB
Mohamad Burhanudin

Penulis

oleh M Burhanudin

Tahun 2012 menjadi tahun yang sangat penting bagi keberlanjutan pemerintahan dan masa depan Aceh. Pada tahun inilah, pemilihan kepala daerah (pilkada) kedua sejak masa damai digelar. Pemerintahan baru pun dihasilkan. Terpilihnya pemerintahan baru hanyalah titik awal. Setumpuk persoalan politik menunggu sentuhan pemerintahan ini.

Pilkada Aceh 2012 ditandai dengan kemenangan pasangan yang diusung Partai Aceh, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf , sebagai nahkoda Aceh yang baru untuk periode 2012-2017. Pasangan tersebut meraih suara 1.327.695 atau 55,78 persen dari total suara sah 2.457.196. C alon gubernur petahana yang maju dari jalur perseorangan, Irwandi Yusuf, yang berpasangan dengan Muhyan Yunan, hanya menempati posisi kedua dengan perolehan suara 694.515 atau 29,8 persen.

Di tempat ket iga ditempati pasangan yang diusung koalisi Partai Demokrat, PPP, dan Partai SIRA, yaitu Muhammad Nazar-Nova Iriansyah, yang mendapatkan suara sebanyak 182.079 atau 7,65 persen. Posisi keempat diraih pasangan Darni M Daud-Ahmad Fauzi dengan suara 96.767 a tau 4,07 persen. Pasangan Ahmad Tajuddin-T Suriansyah di posisi kelima dengan suara 79,330 atau 3,33 persen.

Kemenangan Zaini-Muzakir dinilai sebagai representasi berkuasanya bekas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam puncak kekuasaan politik di Aceh. Zaini adalah mantan Menteri Luar Negeri Gerakaan Aceh Merdeka (GAM), sedangkan Muzakir adalah mantan Panglima GAM, yang kini juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Aceh.

Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam, mengatakan, naiknya Zaini-Muzakir dan dominasi Partai Aceh (partai bentukan mantan kombatan GAM) dalam struktur pemerintahan di Aceh menjadi fase pertaruhan terakhir politik di Aceh. Meskipun pada fase pertama masa pascakonflik di Aceh pegang oleh Irwandi Yusuf, yang seorang mantan kombatan GAM, namun secara institusional, belum dianggap representasi GAM.

Fase kedua masa damai ini mereka bisa mengonsolidasikan kekuatan dan berkuasa. Inilah pertaruhannya. Jika sampai mereka gagal, Aceh akan memasuki fase fragmentasi dan akumulasi kekecewaan yang dapat membawa pada pusaran konflik baru. Jadi, sangat besar tantangan pemerintahan baru ini, kata dia.

Tak hanya dihadapkan pada kompleksitas masalah ancaman perpecahan politik usai pilkada, tetapi juga persoalan lama yang bergulir sejak era konflik dan masa konsolidasi damai yang belum terselesaikan sampai saat ini.

Penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum o f Understanding (MoU) di Helsinki antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005 mengakhiri masa konflik panjang selama 30 tahun di Aceh. Era perpolitikan baru di Aceh pun dimulai. Partai lokal pun muncul dan calon independen dimungkink an untuk mewadahi aspirasi masyarakat.

Melalui Undang Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh mendapatkan sejumlah kewenangan khusus dari pemerintah pusat untuk mengurus dirinya.

Namun, kelembagaan politik formal itu tak serta merta menuntaskan semua beban masa lalu. Salah satunya adalah belum kunjung terwujudnya rekonsiliasi secara menyeluruh antara pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, mantan kombatan GAM, dan masyarakat korban konflik. Kasus-kasus pelangga ran hak asasi manusia (HAM) selama masa daerah operasi militer (DOM) maupun darurat militer dan sipil hingga kini belum jelas penyelesaiannya. Padahal, kasus-kasus penghilangan nyawa, penculikan, dan pemerkosaan tersebut menyisakan trauma panjang bagi seb agai rakyat Aceh.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dimandatkan dalam MoU Helsinki maupun UU Pemerintahan Aceh, hingga saat ini tidak jelas kelanjutannya. Demikian pula dengan pengadilan HAM.

Ironisnya, Pemerintah Aceh yang merupakan representasi politik kekuatan perlawanan Aceh pada masa konflik hingga saat ini enggan untuk menuntaskan Qanun KKR. Justru qanun-qanun yang tak terlalu penting bagi penciptaan perdamaian, seperti Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, lebih didorong, yang kenyataanya justru menghadirkan polemik. Di pihak lain, pemerintah pusat juga tak kunjung menyelesaikan rancangan perundang-undangan terkait dua hal tersebut.

Pengamat Sosial Politik dari U niversitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya mengatakan, ada keputusan konspiratif antara elit lokal dengan elit di pusat terkait persoalan rekonsiliasi ini. Elit-elit lokal memiliki kepentingan jangka pendek dan gampang melupakan sejarah panja ng sebagai lokal yang terluka. Di pihak lain, pemerintah pusat cenderung menghindar atas tanggung jawab masa lalu.

Akibatnya, penyelesaian persoalan di Aceh tak pernah sampai kepada status bahwa negara pernah salah di masa lalu. KKR tak pernah diwujudkan. Bahkan, rekonsiliasi dan pengadilan HAM dalam perundingan damai Helsinki hanya menjadi bahasan paling akhir. Rekonsiliasi hanya di tingkat elit saja. Ada kepentingan tarik menarik antara elit lokal dan pusat, kata dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com