Jakarta, Kompas -
”Harimau satwa liar buas dan tak pernah bisa jinak. Bagaimana keamanan sekitar rumah yang memelihara harimau? Terlalu berisiko,” kata Direktur Konservasi WWF Indonesia Nazir Foead, Rabu (24/10), di Jakarta. Kementerian Kehutanan diharapkan menerapkan metode bapak angkat untuk memenuhi hasrat sebagian orang memelihara harimau sumatera di rumah.
Guru Besar Kehutanan IPB Hadi S Alikodra menilai rencana pemberian izin memelihara harimau tak mendidik. ”Untuk kondisi masyarakat yang masih minim pengetahuan, izin individu malah memberi peluang beramai-ramai memelihara satwa liar. Bisa muncul pikiran, kalau harimau yang buas dan membahayakan boleh, kenapa cenderawasih tak boleh?” katanya.
Ia mengaku dimintai pendapat tentang rencana itu oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Namun, ia tak merekomendasi dan meminta Kemenhut menghubungi Forum Harimau Kita yang beranggota pakar dan pemerhati harimau.
Menurut Nazir, pemerintah perlu meninjau ulang—lebih baik membatalkan—rencana pemberian izin itu. Selanjutnya, mendorong perlindungan habitat dan pengamanan harimau dari perburuan/perdagangan satwa liar.
Diberitakan, Kemenhut mengalokasikan dana RAPBN 2013 senilai Rp 3 miliar untuk membangun suaka harimau (tiger sanctuary). Penangkaran in situ di Cagar Alam Senepis, Riau, menampung harimau korban konflik dengan masyarakat.
Sebagian keturunan ketiga (F3) dilepaskan, sebagian ”disewakan” kepada individu. Syaratnya, jaminan dana Rp 1 miliar, kesejahteraan hewan, dan menyediakan dokter hewan. Ini diyakini Kemenhut menekan pemeliharaan harimau ilegal.
Namun, hal itu dinilai bukan solusi tepat dan benar. Pemerintah, lanjut Nazir, bisa mewadahi hasrat sebagian orang dengan menyediakan mekanisme penyaluran pendanaan.
”Dana diberikan kepada lembaga konservasi yang memelihara harimau untuk operasional kebutuhan pakan/kesejahteraan fauna itu,” ungkapnya.
Pembangunan suaka harimau bisa diterima. Namun, Hadi mengingatkan agar proyek itu tak direcoki perusahaan yang ingin mengambil keuntungan dengan greenwash.