Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sang Petruk

Kompas.com - 30/09/2012, 04:34 WIB

GM Sudarta

Berita kecelakaan yang ditayangkan televisi pagi ini, membuat Pak Toyib terkesiap dan tubuhnya gemetar. Sersan Wardoyo, sahabatnya, pensiunan mantan anggota Kodim, tertabrak truk gandeng di jalan raya. Sepeda motornya ikut tergilas bersama pengendaranya.

Mendadak jari jemari tangannya gemetar. Jari telunjuk tangan kanannya mengejang dan dirasakan seakan jutaan jarum menusuk-nusuk buku jarinya. Teriak kesakitan meledak memenuhi ruangan. Segera Martini, istrinya, datang membawa panci berisi rebusan daun serai yang masih mendidih.

”Wardoyo meninggal!” ujarnya sambil meringis menahan rasa sakit. ”Hmmm....” Martini hanya bergumam mendengar ini, sambil mulai memgompres jari telunjuk suaminya dengan handuk setelah beberapa kali dicelup rebusan serai panas. Hampir sepuluh tahun Martini mengerjakan tugas ini. Tugas yang selalu mengingatkan masa lalunya.

”Tergilas truk gandeng!”.....”Hmmm...”......”Wardoyo hancur, kepalanya terlindas ban!”.....”Hmmm...”.....”Kepalanya pecah rata dengan aspal jalan!”.....”Hmmm...”......”Darah dan otaknya muncrat berhamburan di aspal jalan!”.....”Hmmm...”

Martini tak begitu peduli, masih tetap mengompres jari telunjuk suaminya berkali-kali. Biasanya tugas ini selesai sekitar satu jam, sampai suaminya mulai merasa berkurang sakitnya. Pak Toyib menangis sesenggukan meratapi kematian Wardoyo, sahabatnya..” Sudahlah Pak, jangan banyak mikir dan nonton televisi. Istirahat saja, tiduran.” Saran Martini sambil menuju dapur. Sudah lama dia ingin membicarakan penyakit aneh suaminya ini, tapi masih ragu. Sudah berbagai dokter ahli mencoba menanganinya, tapi tak ada hasil.

Martini memang menyadari, jari telunjuk suaminya inilah yang telah menyelamatkan hidupnya. Jari telunjuk sakti yang bisa mengubah nasib seseorang dengan hanya menuding. Pak Toyib sangat bangga dengan kesaktiannya ini, meskipun warga kampungnya melecehkannya dengan panggilan Pak Toyip Petruk, nama tokoh punakawan wayang kulit yang tangannya selalu menunjuk. Martini pun hingga sekarang tidak bisa menahan malu bila tetangganya menyebutnya Bu Petruk.

 

Kadang kala Martini masih mempertanyakan nasib dalam perjalanan hdupnya kini, apakah hanya karena Martono, adiknya, yang berpacaran dengan seorang gadis berdarah Melayu, Farida itu. Martini menyadari hubungan Martono, dengan gadis itu, pastilah hanya sekadar cinta monyet belaka. Ternyata memang selepas SMA, mereka berpisah. Gadis itu meneruskan pendidikan ke kota lain, sedang Martono dengan bekal seadanya, meninggalkan kampung untuk cari kerja di Jakarta. Dia rasakan sudahlah cukup kakaknya, Martini, kerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membiayai sekolahnya. Apalagi kedua orang tuanya sudah tidak ada.

Beberapa tahun tak ada berita sedikit pun dari adiknya. Tetapi belakangan dia mendengar kabar bahwa pacar adiknya, Farida, telah menikah dengan seorang anggota ABRI yang bertugas di kota. Dan, tidak berapa lama, dengan tiba-tiba Martono pulang dari perantauannya dengan wajah murung. Mungkin karena mendapati kenyataan tentang pacarnya. Tetapi Martini kaget melihat banyak bekas luka di muka dan lengan adiknya.

”Susah Yu, cari kerja di ibu kota,” ujar Martono sambil menangis memeluk mbakyunya. ”Ijazah SMA tak ada artinya. Akhirnya saya ikut menjadi pembantu cuci piring di warung Tegal, untuk bisa makan...”

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com