JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menilai, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hanya keinginan segelintir oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak paham akan prinsip reformasi. Hal itu dikatakan Bambang, Selasa (25/9/2012), di Jakarta.
"Yang mengajukan revisi UU tidak punya pemahaman yang benar mengenai reformasi. Salah satunya adalah pemberantasan korupsi harus tuntas," kata Bambang.
Ia mengatakan, pemberantasan korupsi secara tuntas merupakan salah satu pilar reformasi. TAP MPR mengatur perlunya dibentuk lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK di era reformasi ini.
"Dan kalau enggak optimal, akan jadi masalah," tambahnya.
Selain itu, menurutnya, optimalisasi lembaga pemberantasan korupsi juga diatur dalam konvensi internasional. Dengan demikian, menurut Bambang, pemangkasan kewenangan KPK melalui revisi UU KPK dapat dikatakan melanggar hukum internasional.
"Pasal UN convention, perlu ada badan antikorupsi yang tidak diintervensi. Review-nya adalah KPK. Perlu dijadikan rujukan dan tidak boleh ada ketentuan yang mendeligitimasi ketentuan dari KPK, jadi kalau dilakukan akan melawan hukum internasional," ujar Bambang.
Bambang mengungkapkan, argumentasi sejumlah anggota Dewan yang getol mendorong revisi UU KPK sebenarnya bisa diperdebatkan. Misalnya, terkait penyadapan. Menurutnya, boleh saja dilakukan untuk tindak pidana kejahatan luar biasa seperti korupsi. Dalam undang-undang terorisme pun, lanjutnya, penyadapan diperbolehkan.
Selain itu, kata Bambang, KPK diakui sebagai satu-satunya lembaga hukum di Indonesia yang memenuhi standar internasional dalam melakukan penyadapan. Bambang juga mencontohkan poin revisi UU KPK yang mengusulkan dibentuknya lembaga pengawasan KPK.
"Argumen yang dibangun mungkin argumen common sense (biasa), cuma dasar argumentasinya lemah. Mereka mengatakan kalau Kepolisian saja punya Kompolnas (lembaga pengawas), Kejaksaan punya Komisi Kejaksaan, kenapa KPK enggak punya?" katanya.
Dia mengatakan bahwa lembaga pengawasan KPK tidak perlu dibentuk mengingat jumlah personel KPK yang jauh lebih sedikit dibanding Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga pengawasan, menurut Bambang, baru layak dibentuk jika KPK sudah memiliki cabang-cabang di seluruh provinsi.
"Tolonglah yang dilihat itu jangan yang bermasalahnya tapi yang dioptimalkan belum diutak-atik. Tolonglah KPK diberi anggaran untuk bangun badan perwakilan, baru nanti ada pengawasan," kata Bambang.
Seperti diberitakan sebelumnya, rencana revisi UU KPK masih menjadi pertentangan di internal Komisi III DPR. Sejumlah anggota Komisi III DPR menginginkan undang-undang tersebut direvisi sementara lainnya tidak setuju. Melalui revisi UU tersebut, DPR berencana menghapus kewenangan penuntutan KPK dan memperketat mekanisme penyadapan. Selain itu, diusulkan agar KPK tidak boleh merekrut penyidiknya sendiri.
Berita terkait wacana revisi UU KPK dapat diikuti dalam topik "Revisi UU KPK"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.