Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kitab Kuning di Kediri

Kompas.com - 14/08/2012, 13:08 WIB

KOMPAS.com — Kediri dikenal dengan julukan ”Negeri Pesantren”. Wilayah di Jawa Timur ini memiliki ratusan pondok pesantren, terbanyak di Jawa Timur, bahkan di Nusantara. Pesantren adalah asrama pendidikan dengan siswa tinggal bersama di dalamnya. Mereka mengaji ilmu agama Islam dengan bimbingan seorang guru yang dipanggil kiai.

Di sini diajarkan nilai-nilai keagamaan, seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (kerja sama), jihad (berjuang), dan nilai-nilai lainnya, seperti taat, sederhana, dan ikhlas. Cara hidup di pesantren yang kolektif merupakan refleksi semangat dan tradisi yang bersumber dari ajaran Nabi Muhammad SAW, yakni amar makruf nahi mungkar atau mendorong pada kebaikan dan mencegah keburukan.

Sejarah keberadaan pesantren di Kediri tidak bisa dipisahkan dari Pondok Pesantren Lirboyo di Desa Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, yang berdiri tahun 1910. Salah satu keunikan pondok pesantren ini adalah mata pelajaran baku yang dituangkan ke dalam kitab-kitab salaf atau klasik. Oleh karena dicetak di atas kertas berwarna kuning, kitab salaf populer disebut kitab kuning. Metode kajian kitab kuning ini banyak diadopsi pondok pesantren lainnya.

”Yang diajarkan dalam kitab kuning adalah cara beribadah secara benar. Kitab kuning juga berisi ajaran mengenai hubungan dengan masyarakat, misalnya bagaimana berakhlak yang luhur,” kata KH Abdullah Kafabihi Mahrus, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo.

Kitab kuning mencakup ilmu-ilmu, antara lain tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf, nahwu (tata bahasa), shorof (perubahan kata), dan balaqoh (sastra Arab). Mendalami kitab kuning ditempuh melalui beberapa tahapan, yakni metode iki iku dan dilanjutkan dengan penjabaran tuntas yang bersifat manthuqot (logis), dan mafhumatii (bisa dimengerti).

Tahap selanjutnya, mustahik (pengajar) dan santri (murid) merespons dengan cara menentang atau meluruskan ungkapan yang dipandang tidak tepat. Melalui tahapan inilah santri mampu memahami kaidah nahwu dan shorof atau menafsirkan sesuai tata bahasa dan terhindar dari menafsirkan secara instan dan bebas.

Munculnya pesantren di Kediri juga terkait keberadaan Sungai Brantas yang membelah kota itu. Pada tahun 1800-an, penyebar agama Islam Syekh Ali Maklum menyusuri Brantas mencari lokasi untuk pembangunan masjid. Ia memilih daerah Banjarmlati di Kediri. ”Islam tersebar di Jawa melalui pedagang Islam yang memanfaatkan jalur air,” kata pengamat sejarah dari Kediri, Bambang Tetuko. (EKI/NIK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com