Jakarta, Kompas -
”Intervensi terhadap gizi kurang harus dilakukan sejak pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI),” kata pengajar Juruzan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II, Ayu Anggraeni Dyah Purbasari, Sabtu (4/8), di Jakarta.
Prevalensi kasus gizi kurang pada anak balita di Indonesia 17,9 persen pada 2010. Sebanyak 35,6 persen anak balita berbadan pendek (stunting) dan 13,3 persen anak bertubuh kurus.
Masa terbaik mendorong tinggi badan anak disertai pengembangan ukuran otak hanya dapat dilakukan hingga usia dua tahun. Proses ini tak dapat diulang dan berdampak seumur hidup.
Pendeknya badan anak Indonesia disebabkan kurang asupan pangan hewani. Masyarakat menganggap pangan hewani harus berupa daging mahal. Padahal, pangan hewani bisa diperoleh dengan memanfaatkan potensi lokal, seperti ikan, telur, ulat sutra, ulat sagu, atau serangga tertentu.
Dokter spesialis gizi klinik, Sri Durjati Boedihardjo, mengatakan, persoalan tinggi dan berat anak tidak hanya dipengaruhi asupan pangan, tetapi juga kondisi genetika, penyerapan usus, aktivitas fisik, metabolisme tubuh, penyakit kronik, serta kadar air dan lemak dalam tubuh.
”Meski orangtua pendek, anak bisa lebih tinggi dari orangtua dengan asupan gizi yang baik,” katanya.
Banyak orangtua memberi pisang, kurma, atau madu sebagai MP-ASI saat bayi berumur kurang dari enam bulan. Hal ini berisiko karena saluran pencernaan bayi belum siap. Selain itu, bayi akan menganggap makanan itu sebagai pengganti ASI sehingga asupan gizinya kurang, tumbuh kembang anak menjadi terhambat dan rentan sakit, serta peluang ibu menjadi hamil meningkat.
Anggraeni menambahkan, MP-ASI harus memenuhi kriteria gizi seimbang, khususnya energi, protein, zat besi, dan vitamin A. Zat gizi dapat diperoleh dari nasi atau sumber karbohidrat lain, lauk hewani, lauk nabati, serta sayur dan buah aneka warna.