Lumajang, Kompas -
Demo sempat memanas dan nyaris ricuh setelah ada petugas keamanan dari dalam halaman kantor Pemkab Lumajang yang menyemprotkan sejenis gas air mata. Situasi kian panas karena polisi mengamankan seseorang yang diduga provokator. Warga sempat terpancing emosi karena mengira orang yang ditangkap adalah bagian dari mereka.
”Kami menolak penambangan pasir besi di desa kami karena merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan. Kami ingin dicabut izin penambangan pasir besi,” ujar Abdul Majid Ridwan, koordinator aksi warga Desa Wotgalih.
Menurut Ridwan, penambangan pasir besi di Desa Wotgalih sudah pernah dilakukan tahun 1998-2008. Izin itu sudah habis, dan kini hendak diperpanjang. ”Kami menolak perpanjangan izin dan berharap bupati tidak memberikan izin lagi. Sepuluh tahun ada penambangan pasir besi di desa kami tidak ada manfaatnya, justru membahayakan kami,” tegas Ridwan.
Menurut Ridwan, gunung pasir di pesisir selatan Lumajang selama ini jadi pelindung warga dari gelombang laut atau tsunami. ”Kalau gunung pasir terus dikeruk dan habis, apakah gelombang laut tidak dengan mudah mencapai permukiman warga?,” ujarnya.
Selama 10 tahun ditambang, kawasan itu semakin sering dilanda rob. Rumah warga pun kian banyak yang retak akibat getaran dari mobilisasi truk pasir.
Bupati Lumajang Sjahrazad Masdar, saat dikonfirmasi, mengatakan bahwa di berbagai daerah, penambangan pasir besi memang mengundang pro kontra. ”Hampir semua daerah bergolak mengenai penambangan pasir besi ini. Tinggal bagaimana kami menemukan sebab dan siapa dibalik penolakan itu. Masyarakat akan diajak bicara mengenai investasi di Kabupaten Lumajang ini,” ujarnya.
Tanpa mau menyebut nilai investasi perusahaan penambangan pasir besi di wilayahnya, Masdar menegaskan bahwa menarik investasi itu tidak mudah.