Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan Jurnalis dan Perintis

Kompas.com - 05/04/2012, 02:48 WIB

Oleh Indira Permanasari

Senyum ramah Herawati Diah mengembang di antara garis-garis usia di wajahnya, kemudian dia menyilakan ”Kompas” masuk kediamannya, sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan, Selasa (3/4). Langkahnya kecil dan mantap meski ditopang sebuah tongkat.

Herawati, yang kini berusia 95 tahun, merupakan bagian dari sejarah pers Indonesia. Ia berada dalam satu masa dengan para tokoh jurnalistik, seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan suaminya, almarhum Burhanuddin Mohammad Diah.

Herawati yang tumbuh di era jurnalistik bernapaskan perjuangan kemerdekaan melihat dunia pers Indonesia sudah begitu berubah. ”Generasi saya mendirikan koran dengan idealisme kuat. Koran diterbitkan sebagai koran perjuangan. Pemodalnya tidak ada. Pendirinya mengorbankan apa yang dimiliki. Sekarang media menjadi industri. Untuk memulai koran perlu miliaran rupiah,” ujar perempuan dengan 3 anak, 12 cucu, dan 13 cicit itu.

”Saat itu kerja jurnalistik sama halnya dengan kepemimpinan, arahnya mewujudkan cita-cita kemerdekaan,” kata Herawati.

Ia merasa banyak cita-cita pendiri bangsa belum tercapai. Bangsa ini masih jauh dari sejahtera, pendidikan rakyat belum merata, dan masyarakat di pedalaman sering dilupakan.

Keresahan itu mendorong dia menulis dalam bukunya, An Endless Journey: Reflections of an Indonesian Journalist: ”Peran generasi 1945 itu menyalakan semangat dan roh kepada generasi sekarang karena ketidakadilan yang dulu dihadapi dan masa kini yang tengah dirayakan, masih segar dalam ingatan generasi itu”.

Perjalanan panjang

Lahir dari pasangan Raden Latip, seorang dokter yang bekerja di Billiton Maatschappij, dan Siti Alimah, Herawati berkesempatan mengecap pendidikan tinggi. Lepas dari Europeesche Lagere School (ELS) di Salemba, Jakarta, Herawati bersekolah ke Jepang di American High School di Tokyo. Setelah itu, atas dorongan ibunya, Herawati berangkat ke Amerika untuk belajar sosiologi di Universitas Columbia, New York.

”Ayah saya tidak mau menyekolahkan ke Belanda karena dianggap sebagai negeri penjajah. Saya berangkat ke Amerika sendiri, menumpang kapal laut selama 20 hari,” kata perempuan Indonesia pertama yang mendapatkan gelar dari universitas di Amerika. Herawati yang tertarik dunia tulis-menulis mengambil kuliah musim panas jurnalistik di Universitas Stanford, California.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com