Jakarta, Kompas -
Direktur Eksekutif Greenomics Elfian Effendi serta Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Besar Deddy Ratih menyatakan hal itu Selasa (7/2) di Jakarta menanggapi keputusan Pemerintah Amerika Serikat— Environmental Protection Agency
Elfian mengatakan, keputusan AS itu didapatkan dari peta citra satelit beresolusi tinggi dan rekam jejak aktivitas operasional perusahaan sawit di Indonesia. ”Bantahan dari Indonesia harus dipersiapkan baik agar tidak malu atau nanti konyol,” ucapnya.
Dijelaskan, melalui peta citra satelit itu, AS bisa mengetahui sebagian perkebunan sawit menggunakan areal hutan alam/ konservasi ataupun gambut. Praktik ini dinilai tak sejalan dengan semangat global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Elfian pun mengatakan, Roundtable Sustainable on Palm Oil pun seharusnya bisa menertibkan anggotanya yang tak melaksanakan praktik perkebunan dengan baik.
Tahun 2011, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia mencapai 23,5 juta ton, dan ekspornya tercatat 16,6 juta ton. Ekspor CPO ke AS hanya sebagian kecil karena pasar terbesar adalah India dan China.
Deddy Ratih mengatakan, momentum ini bisa menjadi pendorong bagi pengusaha sawit dan pemerintah untuk memperbaiki diri. Ia menilai selama ini terjadi pembiaran perkebunan sawit ilegal tanpa izin pelepasan hutan maupun izin hak guna usaha.
”Herannya, meski ilegal, perusahaan-perusahaan ini dilindungi aparat keamanan,” ujarnya.