Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Danau Limboto Menjanjikan

Kompas.com - 28/12/2011, 03:57 WIB

GORONTALO, KOMPAS - Tanaman eceng gondok dan endapan lumpur yang berada di dasar Danau Limboto, Provinsi Gorontalo, menyimpan potensi ekonomi besar. Eceng gondok di permukaan danau seluas 2.100 hektar jika diolah menjadi pupuk organik bernilai Rp 200 miliar.

Badan Lingkungan Hidup, Riset, dan Teknologi Informasi Provinsi Gorontalo bahkan memperkirakan potensi ekonomi di Danau Limboto tidak hanya dari eceng gondok, tetapi juga dari endapan lumpur di dasar danau yang bernilai ekonomi jika dibuat batu bata. Namun, hingga kini potensi tersebut belum diberdayakan.

Kepala Bidang Lingkungan Hidup Balihristi Provinsi Gorontalo Rugaya Biki, Selasa (27/12), mengungkapkan, pihaknya sudah menghitung ada potensi ekonomi bernilai tinggi dari Danau Limboto.

Saat ini luasan eceng gondok mencapai 70 persen atau 2.100 hektar dari 3.000 hektar luas permukaan Danau Limboto. Jika seluruh eceng gondok itu dibuat pupuk organik, misalnya, akan ada potensi senilai Rp 200 miliar.

”Perhitungan kami, jika eceng gondok dibuat pupuk organik akan menghasilkan volume pupuk sekitar 1 juta meter kubik. Jika harga pupuk organik per meter kubiknya adalah Rp 200.000, maka akan ada potensi ekonomi senilai Rp 200 miliar,” ujarnya.

Selain eceng gondok, endapan dari dasar Danau Limboto juga berpotensi ekonomi yang bernilai tinggi. Selain bisa dibuat batu bata, endapan dasar danau juga bisa dibuat barang kerajinan, seperti tas, tikar, kursi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.

”Sayangnya, sampai sekarang potensi itu belum dimanfaatkan sama sekali,” kata Rugaya yang belum menghitung berapa nilai ekonomi dari potensi endapan lumpur tersebut.

Dangkal

Kendati menyimpan potensi ekonomi yang tinggi, pemulihan kondisi Danau Limboto mendesak dilakukan menyusul makin dangkalnya danau tersebut.

Pada tahun 1932 kedalamannya mencapai 14 meter, tetapi saat ini kedalaman danau tersebut hanya 2,5-3 meter. Luas permukaan danau juga menyusut dari 7.000 hektar di tahun 1932 menjadi kurang dari 3.000 hektar saat ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com