Jakarta, Kompas
Aktivitas tambang bersinggungan (overlap) dengan kawasan konservasi sekitar 1 persen, sedangkan kelapa sawit 460.000 hektar. Adapun luas kawasan konservasi 27 juta hektar.
”Terjadi di seluruh hutan konservasi di Indonesia,” kata Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan, Sonny Partono, Senin (5/12), di Jakarta, seusai berbicara dalam diskusi Implikasi Putusan Mahkamah Agung terhadap Status dan Fungsi Taman Nasional (TN) Batang Gadis di Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Menurut Sonny, pemilihan kepala daerah, terutama bupati/wali kota, punya andil merusak. Kawasan hutan ditabrak untuk mengembalikan ongkos politik.
Kementerian Kehutanan setahun ini menargetkan mengembalikan lahan sawit/tambang menjadi hutan konservasi. Sonny mencontohkan, pihaknya bekerja sama dengan polisi dan tentara membongkar perkebunan sawit di TN Gunung Leuser (4.000 hektar), TN Bukit Barisan Selatan (8.000 ha), dan TN Way Kambas (6.000 ha). Target 2014 dibebaskan 25.000 ha.
”Pohon sawit kami tebang dan cabut, lalu ditanami dengan tanaman setempat,” ucapnya.
Hendrik Siregar, Pengampanye Emas Jaringan Advokasi Tambang, mengatakan, kawasan konservasi seluas 106.000 ha di TN Batang Gadis (TNBG) di Kabupaten Mandailing Natal, Sumut, 31 persennya terkena areal kontrak karya PT Sorikmas Mining dengan luas 66.000 ha.
Kebijakan itu digugat ke Mahkamah Agung. Putusan MA menguatkan posisi perusahaan. Konsekuensinya, kawasan TNBG terfragmentasi menjadi empat bagian (seluas 21.297 ha, 71 ha, 43.390 ha, dan 7.392 ha).
Untuk beroperasi, status hutan konservasi (TN) harus diturunkan menjadi hutan lindung. Selain itu, perusahaan juga harus mendapatkan izin pinjam pakai dari Kementerian Kehutanan.
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Lingkungan, mengingatkan, operasional perkebunan sawit dan tambang harus dilengkapi izin lingkungan serta dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). ”Polisi ataupun polisi hutan harus awasi betul-betul karena kecenderungan langsung buka hutan setelah dapat izin. Padahal, proses masih panjang,” ucapnya.