YOGYAKARTA, KOMPAS -
Sebagai raja, kata Alfian Darmawan, Sultan berada pada posisi sakral yang sarat dengan nilai-nilai spiritual. Namun, begitu diposisikan sebagai gubernur, kata Alfian, posisi Sultan akan menjadi profan atau duniawi.
Menjawab pertanyaan mengapa diskusi dan gerakan propemilihan baru muncul akhir-akhir ini, Alfian mengatakan, selama ini para pendukung penetapan menutup semua pintu dialog dan seolah-olah tidak ada perbedaan aspirasi masyarakat Yogyakarta. Padahal, perbedaan pendapat penting sebagai proses dialog mencari solusi.
Pembicara lain, Direktur Center for Social-Democratic Studies Imam Yudotomo, mengatakan, jabatan Sultan dan gubernur sebaiknya dipisah. Sultan tetap diposisikan sebagai raja-raja seperti di Inggris, Belanda, Jepang, atau Thailand, sedangkan jabatan gubernur menjadi seperti perdana menteri. ”Pemisahan jabatan Sultan dan gubernur akan menghindarkan bertumpuknya kekuasaan di satu tangan,” kata Imam dalam makalahnya.
Ketua panitia diskusi, Yuri Ashari, melihat wacana keistimewaan DIY seharusnya tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip konstitusi. ”Jika Sultan ditetapkan menjadi gubernur, bisa jadi ini akan menjadi kecemburuan bagi kerajaan-kerajaan lain di Indonesia.”
Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menanggapi acara diskusi tersebut, mengemukakan, munculnya wacana pro-penetapan dan pro-pemilihan gubernur di DI Yogyakarta adalah hal wajar dalam proses demokrasi. Meski demikian, kedua aspirasi itu semestinya muncul sejak awal pembahasan RUU Keistimewaan DIY sehingga terjadi proses dialog yang kemudian menghasilkan rumusan bersama. ”Dalam konteks apa pun mesti ada pro dan kontra. Bagi saya, tidak masalah. Hanya kenapa munculnya kok belakangan setelah pemilihan kepala daerah Kota Yogyakarta selesai. Kok, enggak dari dulu-dulu sehingga bisa jadi tempat berdialog,” kata Sultan.
Saat ini, menurut dia, pembahasan RUUK DIY sudah masuk dalam panitia kerja RUUK DIY serta beberapa kali dibahas dalam rapat dengar pendapat di DPR.