Mengapa perlu lembaga baru? Pertama, terlalu banyak (19) kementerian yang saat ini punya program penanggulangan kemiskinan sehingga niat mengangkat harkat orang-orang yang kurang beruntung dari sisi ekonomi menjadi tidak efektif dan tidak fokus. Kedua, dengan banyaknya instansi yang menanggulangi kemiskinan, sulit dicapai koordinasi dan sinergi.
Agar fokus dan efektif, cukup satu lembaga. Pertanyaannya, perlukah lembaga atau badan baru untuk mengurus fakir miskin?
Pendirian badan baru jelas membebani anggaran negara. Ia bisa mengurangi pos bagi sektor lain. Birokrasi pun, dengan adanya badan baru, semakin gemuk sehingga tak lagi lincah melakukan kerja-kerja pembangunannya.
Di pihak lain kita mempertanyakan mangkus dan sangkil sebagian badan atau komisi yang sudah didirikan, khususnya dalam melayani publik. Sebagian badan atau lembaga pemerintah yang mungkin tak terlalu memberi dampak positif pada pembangunan layak dipangkas.
Survei Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2010 terhadap 353 unit layanan pemerintah menunjukkan kualitas layanan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menurun dalam setahun terakhir. Tahun 2009 rata-rata indeks integritas nasional sebesar 6,5, sedangkan pada 2010 indeks yang sama merosot menjadi 5,42.
Bila RUU Fakir Miskin mengamanatkan perlu ada badan baru untuk menanggulangi kemiskinan, apakah itu tidak menambah beban baru bagi kita semua dalam rangka reformasi birokrasi untuk memberi layanan optimal bagi masyarakat. Bukankah badan baru tidak serta-merta membuat layanan menjadi berkualitas dan prima?
Kita tidak ingin melanjutkan kegemaran membuat badan atau lembaga baru sebab belum tentu membuat birokrasi mangkus dan sangkil. Bisa yang terjadi justru sebaliknya. Herbert M Levine berpendapat bahwa birokrasi kadang-kadang digunakan untuk hal-hal yang diremehkan sehingga keberadaannya canggung, tidak imajinatif, dan kaku.