Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrat Harus Berani

Kompas.com - 16/05/2011, 02:33 WIB

Jakarta, Kompas - Kasus suap proyek Wisma Atlet di Palembang, Sumatera Selatan, yang diduga melibatkan politisi Partai Demokrat seharusnya dijadikan momentum untuk pembersihan diri. Partai Demokrat harus berani mengeluarkan kader yang terbukti terlibat korupsi, apabila tidak ingin citra partai semakin terpuruk.

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, Minggu (15/5), mengatakan, kecenderungan koruptor di Indonesia selalu mencari perlindungan dari kekuatan politik. Saat ini kekuatan politik utama dipegang oleh Partai Demokrat sehingga wajar apabila banyak koruptor yang berlindung di bawah kebesaran Partai Demokrat.

Apabila dibiarkan, kredibilitas dan citra Partai Demokrat akan terus terpuruk. Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu program pemerintah.

Oleh karena itu, sudah seharusnya Partai Demokrat tak lagi melindungi atau menampung koruptor. Kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet yang diduga melibatkan Bendahara Umum M Nazaruddin seharusnya dijadikan momentum untuk membersihkan partai. ”Kalau tidak mau ada pembusukan, Demokrat harus melakukan amputasi politik. Memotong kanker, yakni koruptor-koruptor, yang ada dalam dirinya,” kata Ari.

Selain itu, Partai Demokrat juga harus memulai memikirkan sumber pembiayaan politik yang legal dan dapat dipertanggungjawabkan. Itu karena Ari menengarai, kasus itu tidak terlepas dari kebutuhan pembiayaan politik.

Di Gianyar, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyatakan tidak ada bukti keterlibatan kadernya dalam kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet itu. Hal tersebut berdasarkan informasi yang diperoleh Anas dari tim pencari fakta di Fraksi Partai Demokrat.

Meskipun demikian, Partai Demokrat mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus itu secara adil dan berdasarkan logika penegakan hukum. ”Soal hukum itu kan bukan wilayah internal Partai Demokrat. Urusan internal partai adalah menjaga etika dan kehormatan partai,” kata Anas saat berkunjung di Museum Rudana, Ubud, Gianyar, Bali, Sabtu (14/5) malam.

Sekretaris Bidang Hak Asasi Manusia DPP Partai Demokrat Rachland Nashidik mengingatkan kader-kader Partai Demokrat untuk tidak membuat pernyataan dan manuver yang menimbulkan persepsi bahwa partai melindungi kadernya dari tangan hukum. Para kader diminta untuk membiarkan Dewan Kehormatan Partai Demokrat dan KPK bekerja tanpa gangguan. Kasus ini menyeret Nazaruddin dan anggota Komisi X DPR dari Partai Demokrat, Angelina Sondakh.

Ketika ditanya wartawan mengenai desakan penonaktifan kadernya yang diduga terlibat kasus tersebut, Anas mengatakan, Dewan Kehormatan Partai Demokrat sedang memproses persoalan itu. Anas meminta semua pihak menunggu keputusan Dewan Kehormatan.

Secara terpisah, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamarudin Simandjuntak, mantan pengacara salah satu tersangka yang ditangkap KPK yaitu Mindo Rosalina Manulang, mendesak KPK untuk tegas dalam hal pemeriksaan Nazarudin. ”Kalau Presiden SBY komitmen pada pemberantasan korupsi, ini semua harus diungkap,” ujar Simandjuntak.

Haris Rusli dari Petisi 28 yang memandu acara itu mengingatkan, ada rangkaian dugaan korupsi tingkat atas, mulai dari kasus Century hingga suap Wisma Atlet. ”Kasus-kasus korupsi besar ini mengindikasikan persiapan dana untuk Pemilu 2014,” ujar Haris.

Ahmad Suryono juga dari Petisi 28 mengingatkan, KPK yang sedang melawan DPR justru sedang melemahkan diri sendiri. KPK saat ini dinilai berusaha mengakomodasi pemerintah karena elite lembaga tersebut juga tersandera sejumlah kasus.

(DEN/NTA/ONG/ZAL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com