Kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Utara Jenny Karaouw di Manado, Jumat (13/5), mengatakan, kenaikan cengkeh dan fuli sungguh menyenangkan petani. ”Petani sangat menikmati kenaikan harga dua komoditas itu,” kata Jenny. Dikatakan, semua komoditas perkebunan di Sulawesi Utara milik rakyat.
Petani cengkeh, Rein Tumilaar, di Sonder, Kabupaten Minahasa, mengatakan, kenaikan harga tak sepenuhnya dinikmati petani, sebab petani sudah menjual cengkeh pada saat harga mencapai Rp 90.000 per kilogram. Akan tetapi, masih ada sebagian petani di Kolongan Atas, Sonder, Minahasa, yang masih menyimpan cengkeh sekitar 100 ton. Beberapa pedagang di Pasar Karombasan, Manado, berani membeli cengkeh petani dengan harga Rp 105.000- Rp 110.000 per kg.
Wenny Lumentut, pedagang cengkeh di Manado mengatakan, kenaikan harga cengkeh akibat kebutuhan nasional 120.000 ton per tahun, sementara stok menipis. ”Beginilah kalau barang (cengkeh) kurang, sehingga harga melambung,” kata Wenny. Dia yakin harga cengkeh tetap tinggi dalam beberapa bulan ke depan, sebab tahun ini tidak ada panen cengkeh di Minahasa, sentra cengkeh di Sulawesi Utara.
Data Dinas Perkebunan Sulut menyebutkan, produksi cengkeh di daerah itu sebesar 51.349 ton tahun 2010, dengan produksi rata-rata 1,104 ton per hektar. Luas tanaman cengkeh di Sulut mencapai 75.900 hektar, tetapi yang berproduksi 46.100 hektar. Sekitar 80 persen tersebar di Minahasa. Kurang lebih 400.000 jiwa hidup dari cengkeh.
Demikian halnya harga fuli pala terus melonjak dari Rp 100.000 menjadi Rp. 200.000 kemudian menjadi Rp 300.000 per kilogram. Petani pala di Siau, Kabupaten Sitaro, sentra produksi pala di Sulawesi Utara, bergembira.
Sementara itu, di Jember, Jawa Timur, dilaporkan, rendahnya hasil produksi pertanian pada musim lalu membuat petani setempat kesulitan modal untuk musim tanam berikutnya. Kini, sebagian mereka mencari utang dengan memanfaatkan lembaga keuangan, termasuk rentenir.
Tidak sedikit yang meminjam uang pada bank dengan agunan buku pemilik kendaraan bermotor atau petok tanah. ”Saya tidak berani pinjam ke rentenir karena bunganya terlalu tinggi dan perbandingannya 10:15,” kata Ahmad Sukri, ketua kelompok tani di Desa Candijati, Kecamatan Arjasa, Jember, Jumat (13/5).
Menurut Sukri, rentenir mematok bunga 50 persen sehingga pinjaman Rp 1 juta setelah panen harus dikembalikan Rp 1,5 juta. Ketua Forum Komunikasi Petani Jember Jumantoro mengatakan, sebagian besar petani yang tergabung dalam kelompok tani, pinjam di BRI atau Bank Perkreditan Rakyat.