Alasan utama yang diungkap masyarakat adalah bahwa pendidikan sangat mahal. Stigma ini sudah sangat melekat di masyarakat. Bahkan Mahkamah Konstitusi menggunakan dalih pendidikan mahal ini untuk membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Pendidikan yang mahal ini pula yang kemudian menjadikan adanya kesan kastanisasi pendidikan.
Daya beli masyarakat memang masih rendah, apalagi pertumbuhan ekonomi di tingkat akar rumput. Pertumbuhan ekonomi pun secara mikro belum beranjak secara signifikan.
Lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat memaksa mereka membuat keputusan yang dilematis antara belanja pendidikan dan belanja bertahan hidup. Pilihan jatuh pada belanja bertahan hidup karena tidak dapat ditunda, sedangkan pendidikan masih dapat ditunda sampai mereka mempunyai dana cukup.
Di sisi lain, bagi mereka yang mampu, pendidikan tak jadi masalah, bahkan menjadi salah satu agenda belanja yang sangat menarik. Mereka dapat memilih sekolah atau perguruan tinggi yang sesuai minatnya sehingga memperoleh manfaat maksimal dari pendidikan yang ditempuh.
Tampak jelas disparitas akses pendidikan yang semakin lebar antara kedua kelompok tersebut. Gejala ini akan terus memburuk karena pertumbuhan ekonomi kita cenderung berpihak kepada yang mampu. Kesenjangan akses pendidikan akan berdampak pada kesenjangan sosial, dan bila terlalu lebar, kesenjangan tersebut dapat menimbulkan revolusi sosial.
Kita tentu tidak ingin terjadi revolusi sosial di negara tercinta ini. Apalagi, kita sadari bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan beradab, yang dilandasi semangat Bhinneka Tunggal Ika. Adapun kunci untuk mengatasi masalah kesenjangan adalah melalui pendidikan.