Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

GADIS Hanya Ingin Kesetaraan

Kompas.com - 10/03/2011, 07:26 WIB

KOMPAS.com - Solidaritas Perempuan (SP) menyimpulkan, sejak 2001 hingga 2011, terdapat setidaknya 156 peraturan daerah (perda) dan peraturan desa (perdes) yang sifatnya diskriminatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan agama. Tak ingin tinggal diam, organisasi perserikatan dengan keanggotaan individu ini menyatakan sikap lewat kampanye GADIS (Gerakan Anti Diskriminasi) yang fokus terhadap perjuangan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.

Memiliki 11 kantor di berbagai daerah di Indonesia memungkinkan SP untuk melihat berbagai keadaan perempuan di daerah-daerah. Dari sana pula mereka mengumpulkan data mengenai kondisi kurang menguntungkan yang dirasakan oleh pemerintah.

Lewat ratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang dilakukan pemerintah melalui UU no. 7 tahun 1984, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan. "Namun, terjadi pembiaran oleh negara yang membiarkan munculnya peraturan atas nama agama dan mendiskreditkan orang-orang yang di luar kesepahaman itu, termasuk dalam hal peraturan-peraturan yang mengekang ruang gerak perempuan," jelas Riska Umar, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan saat temu media di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Dikatakan oleh Risma, sejak reformasi hingga 2010, SP menemukan setidaknya 156 aturan perda-perdes (aturan di tingkat lokal) berbau agama dan budaya yang mendiskreditkan perempuan. "Hal ini menjadi semacam tren. Di banyak tempat aturan-aturan berbau syariah atau aturan agama lain menjadi aturan setempat dan ini menjadi concern untuk ruang kebebasan perempuan. Ini menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil atau perempuan untuk bisa berkelompok dan mengeluarkan pikiran," ungkap Risma lagi.

Disebutkan oleh Risma, kebijakan-kebijakan tingkat daerah itu menyangkut beberapa aspek yang mengekang perempuan, antara lain dalam hal; aturan berpakaian, larangan keluar malam, kriminalisasi PSK, pornografi, dan aturan lain yang bukan hanya mengancam dan mengintimidasi perempuan tetapi juga mendiskriminasi perempuan sehingga tak memiliki otoritas maupun kesempatan untuk menjadikannya sebagai warga negara yang merdeka. "Meski sekarang ada pula aturan bahwa wanita juga boleh duduk di kursi pemerintahan, tetapi sama saja, tidak berarti banyak," jelas Risma.

Aturan-aturan daerah yang dimaksud SP dalam hal ini adalah aturan-aturan lokal yang wujudnya menempatkan perempuan dan seksualitasnya berada di strata bawah, sehingga menempatkan perempuan di tempat yang harus diatur. Contoh, aturan untuk pulang malam di daerah tertentu. Atau yang masih segar di ingatan, tentang aturan DPRD Jambi untuk mengajukan tes keperawanan bagi calon siswa-siswi sekolah sebagai solusi atas masalah pergaulan bebas di antara remaja. Menurut SP, tes keperawanan memperlakukan tubuh perempuan sebagai indikator moralitas suatu masyarakat dan menimbulkan masalah pada perkembangan psikologis seksualitas perempuan. "Tes ini, merupakan bentuk praktek pembunuhan karakter perempuan ketika ketidakadilan sangat kental di dalamnya yang berdampak pada stigmatisasi, pelabelan, dan kekerasan terhadap perempuan," begitu tulisan yang tertera dalam daftar Catatan Kekerasan Atas Nama Moralitas Perempuan milik Solidaritas Perempuan.

Karenanya, SP menyatakan sikap dengan melakukan kampanye bernama GADIS yang menurut Risma, berfokus terhadap perjuangan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. SP menginginkan 4 hal:

1. Mencabut semua peraturan atau kebijakan yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan, termasuk Surat Keputusan Bersama 3 Menteri no. 3 Tahun 2008 oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. SKB tersebut menurut Risma adalah landasan pemula yang membuat aturan-aturan atas nama agama.

2. Memastikan Rancangan Peraturan Daerah memenuhi unsur pemenuhan hak-hak konstitusi perempuan dan kelompok minoritas.

3. Berhenti memproduksi peraturan diskriminatif terhadap perempuan karena bertentangan dengan UUD 1945, UU no. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU no. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU no. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.

4. Memastikan bahwa negara memberikan perlindungan atas kebebasan dan ruang gerak, terhindar dari berbagai bentuk ancaman sebagai wujud perlindungan hak konstitusi sebagai perempuan, sebagai kelompok minoritas, dan sebagai warga negara Indonesia.

Jika tidak? "Kalau negara tetap membiarkan aturan-aturan yang mengatasnamakan agama ini terus berlanjut, maka ini akan menjadi ancaman terhadap pluralitas masyarakat di tingkat kampung. Melihat adanya aturan-aturan agama yang diberlakukan oleh satu daerah oleh masyarakat mayoritasnya, wilayah daerah lain juga akan muncul dengan aturan agamanya juga. Dan ini sudah mulai terjadi di daerah Sulawesi," jelas Risma.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com