Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Orang Rimba Memilih Berubah

Kompas.com - 25/02/2011, 05:05 WIB

Nungkay kini menyadari: sekolah itu kewajiban. Jika tak ingin ditipu orang, orang rimba atau suku anak dalam harus bersekolah. Setidaknya itu berlaku bagi para generasi mudanya.

Nungkay telah berusia 50 tahun. Ia merasa tidak mungkin lagi bersekolah walaupun belum bisa baca dan tulis. Fisiknya terkuras untuk mencari penghidupan bagi enam anaknya, sedangkan kemampuan otaknya kian menurun.

Ia sehari-hari sangat bergantung kepada Lukas, anaknya yang pernah mengenyam sekolah dasar. Setiap kali menjual getah karet ke pasar, Lukas dimintanya membaca hasil timbangan karet dan menghitung nilai transaksi dengan tauke (pengepul). Begitu pula ketika hendak berbelanja bahan makanan, Lukas yang menawar sekaligus membayarnya.

”Saya tidak tahu berapa beratnya karet di timbangan. Tidak mengerti. Jadi, kalau tidak mengajak Lukas, saya mungkin ditipu orang,” ujar Nungkay.

Setelah menyelesaikan kelas VI SD, Lukas dihadapkan pada realitas buruknya perekonomian keluarga. Ia terpaksa tidak melanjutkan sekolah dan membantu bapaknya menyadap karet.

Kebun karet mereka seluas empat hektar adalah fasilitas pemerintah melalui program permukiman atau transmigrasi lokal bagi komunitas orang rimba di Pelakar Jaya, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Selain Nungkay, ada belasan keluarga rimba hidup menetap menempati rumah-rumah sederhana di sana.

”Sejak lahir, kami sudah tinggal di sekitar sini. Hanya bedanya, dulu tempat ini masih hutan. Sekarang sudah banyak rumah dan jalan,” tuturnya mengenang maraknya pembukaan kawasan transmigran di sana sekitar 20 tahun lalu.

Nungkay bercerita, hidup menetap adalah pilihan terbaik bagi orang rimba di jalur lintas Sumatera. Dulu, hutan mereka masih kaya akan sumber pangan. Setelah banyak hutan gundul untuk pembangunan daerah, orang rimba mau tidak mau menjalani kehidupan sebagaimana para pendatang, yaitu menetap dan mengelola kebun sebagai sumber penghidupan.

Dari menyadap karet, keluarga Nungkay bisa memperoleh hasil 10 kilogram per hari. Getah karet dihargai tauke Rp 16.000 per kg. Dengan harga karet yang terbilang tinggi belakangan ini, Nungkay bisa membeli motor dengan cara kredit. ”Motor ini kami beli dua bulan lalu. Setiap bulan kami bayar kredit Rp 650.000,” ujarnya.

Selain mengelola kebun karet, Nungkay bersama Ngetan, warga rimba lainnya, mulai menanam padi sejak empat bulan terakhir. Pada hasil panen perdana baru-baru ini, mereka hanya memperoleh satu karung gabah (50 kg) pada lahan seluas 200 meter persegi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com