Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perbaiki Sistem Pemantauan

Kompas.com - 09/02/2011, 03:47 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Erupsi dahsyat yang terjadi November 2010 telah merusak sebagian besar peralatan pemantauan Gunung Merapi. Kini mulai dilakukan perbaikan sistem itu, tetapi upaya tersebut baru tuntas pada setahun mendatang.

”Erupsi Merapi tahun 2010 menciptakan kawah baru di puncak dengan diameter 400 meter. Kondisi ini mengubah total sistem pemantauan ke depan,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandriyo, Selasa (8/2) di Kantor BPPTK, Yogyakarta.

Beberapa alat pemantau yang rusak akibat erupsi Merapi, antara lain, reflektor pengukur jarak tunjang elektronik (electronic distance measurement/EDM), titik pemantauan gas, dan pengukur perubahan kemiringan atau tiltmeter. Sebanyak 14 reflektor pengukur jarak tunjang hancur dan meleleh, sedangkan dua titik sampling pemantauan gas hilang.

”Titik-titik solfatara yang kami gunakan untuk memantau gas telah hilang semua. Padahal, dari titik-titik itulah, sifat letusan Merapi bisa diinterpretasikan. Dari hasil pemantauan gas ini, keputusan menaikkan atau menurunkan status gunung ditetapkan,” kata Subandriyo.

Kini, BPPTK sedang melakukan beberapa pembenahan, seperti penginstalan sistem pemantauan peringatan dini bahaya lahar Merapi dan pemetaan ancaman lahar di setiap sungai.

Ancaman lahar dingin

Meskipun ancaman letusan Gunung Merapi sudah reda, dampak lahar dingin masih harus dialami masyarakat DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Curah hujan yang tinggi akan menjadi pemicu luruhnya lahar dingin dari puncak Merapi.

Di sisi selatan Merapi, aliran lahar dingin berpotensi turun melalui Kali Gendol dan Kali Boyong. Berdasarkan survei BPPTK, endapan awan panas di Kali Gendol sepanjang 15 kilometer mencapai 30 juta meter kubik. Endapan ini memenuhi hulu Kali Gendol dan berpotensi turun hingga ke hilir melalui Kali Opak.

Lalu, di sisi barat daya, aliran lahar dingin Merapi mengalir melalui beberapa sungai, yaitu Kali Krasak, Kali Putih, Kali Blongkeng, dan Kali Pabelan. ”Endapan material vulkanik di sisi selatan Merapi sebanyak 30 juta meter kubik yang memenuhi Kali Gendol belum turun. Jika turun hujan deras di atas 20 milimeter dan berlangsung lebih dari satu jam maka banjir lahar dingin bisa terjadi,” ujarnya.

Menurut Subandriyo, banjir lahar dingin akan terbentuk jika terjadi percampuran antara air 40 persen dan material 60 persen. Karena itu, masyarakat harus selalu waspada jika sewaktu-waktu terjadi peningkatan curah hujan. Sementara itu, banjir lahar dingin justru sering kali terjadi di sisi barat Merapi, terutama di Kali Putih dan Kali Pabelan.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono menjelaskan, ciri material vulkanik di sisi barat berbeda dengan di sebelah selatan Merapi. Di sisi barat Merapi, material vulkanik didominasi kandungan endapan awan panas bercampur abu dari material jatuhan sehingga mudah jatuh terbawa air.

Sebaliknya, material vulkanik lahar dingin di sisi barat Merapi bercampur batu-batuan besar. Hal ini disebabkan turunnya reruntuhan puncak Merapi di sisi barat yang berguguran akibat erupsi. Kondisi itu perlu diperhatikan secara serius. (ABK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com