Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rakyat Sudah Menabuh Tambur...

Kompas.com - 14/12/2010, 08:30 WIB

"Tambur wis ditabuh, suling wis muni. Holopis kuntul baris, ayo dadi siji. Bareng para prajurit lan senopati. Mukti utawa mati manunggal kawula Gusti. Menyerang tanpa pasukan. Menang tanpa merendahkan. Kesaktian tanpa ajian. Kekayaan tanpa kemewahan. Tenang bagai ombak. Gemuruh laksana Merapi." (Jogja Istimewa)

Syair lagu itu dinyanyikan Marzuki Mohammad alias Kill the DJ di panggung menghadap ribuan warga DI Yogyakarta di halaman Gedung DPRD DIY, Senin (13/12/2010). Semua kemudian ikut bergoyang dan bernyanyi dengan beragam gaya meskipun musik hip-hop yang dibawakan. Tampilnya kelompok mahasiswa Papua menambah semarak bunyi-bunyian.

Setelah itu yel-yel meminta penetapan bergema diteriakkan ribuan warga saat satu per satu orator tampil. Warga tidak hanya memadati halaman Gedung DPRD DIY, tetapi juga meluber memadati Jalan Malioboro, Yogyakarta, hingga Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Jumlahnya mencapai puluhan ribu.

Jalan yang menjadi ikon pariwisata Yogyakarta itu ditutup untuk arus kendaraan bermotor. Toko-toko dan kaki lima tutup. Pasar Beringharjo sepi karena para pedagang ikut berunjuk rasa dengan sukarela. Warga lain datang berduyun-duyun dari berbagai pelosok, seperti Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman, dan Kota Yogyakarta.

Berbagai elemen masyarakat, seperti siswa SMA, tukang becak, petani, perias salon, dukuh, buruh, kepala desa, perangkat desa, veteran perang, seniman, dan mahasiswa, datang dengan satu sikap dan tekad mendukung penetapan. ”Antusiasme warga ini dari kesadaran mereka sendiri untuk mempertahankan keistimewaan DIY,” ungkap Sunyoto, Ketua Gerakan Semesta Rakyat Jogja (Gentaraja). Puluhan ribu warga datang untuk menyaksikan Rapat Paripurna DPRD DIY dengan agenda penentuan sikap politik DPRD DIY tentang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dalam RUU Keistimewaan DIY.

Ikhlas memberi

Warga tak segan mengeluarkan uang, bahkan mau kehilangan pendapatannya, demi penetapan. Tidak ada yang mengomando, toko, warung, salon, bahkan Pasar Beringharjo—pasar terbesar di Yogyakarta—tutup selama aksi massa. ”Duit setiap hari bisa dicari, tetapi ini tidak terjadi setiap hari,” ungkap Yasri, pemilik Salon Yasri.

Massa mulai berdatangan ke Gedung DPRD DIY sejak pukul 11.00, diawali ratusan siswa kelas I-III SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Mereka berjalan kaki sekitar 4 kilometer ke Gedung DPRD DIY. ”Kami menolak pemilihan. Pemilihan itu hanya menghabiskan anggaran saja dan rawan konflik sosial,” ungkap Eduardus, siswa kelas III SMA Kolese De Britto.

Marwan (46), tukang becak, warga Sedayu, Bantul, juga ikhlas tidak menarik becaknya demi Sultan dan Paku Alam. Hari itu ia tidak membawa pulang uang Rp 20.000-Rp 50.000 karena ikut warga lain menyerukan penetapan. ”Yogya itu istimewa bila gubernurnya Sultan dan wakilnya Paku Alam.”

Dukungan keistimewaan juga datang dari mahasiswa Papua dan Nusa Tenggara Timur yang belajar di berbagai perguruan tinggi di DIY. Mereka memakai pakaian tradisional lengkap. ”Pemerintah pusat jangan sentralistik, ini era demokrasi, dengarkan aspirasi rakyat Yogyakarta,” ungkap Holand Abago, mahasiswa asal Papua.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com