Anwar Hudijono dan Dody Wisnu Pribadi
Misalnya cerita Enthit
Enthit bukan hanya gambaran petani pada masa Cerita Panji disusun, tetapi bisa jadi berbicara untuk masa depan. Suara sengau Enthit menggambarkan adanya cacat fisik. Hal ini sebagai kiasan betapa suara petani secara sosiologis adalah nista dan memelas. Paradoksnya kenistaan itu bukan membuat pihak lain timbul empati, tetapi malah tidak mau mendengar aspirasinya.
Tanah yang subur bukan jaminan komunitas petani mendapatkan kekayaan dan menggapai keinginannya yang dikiaskan dengan Ragil Kuning (warna kuning adalah warna emas, dan emas adalah simbol kekayaan). Kenapa? Karena produktivitas hasil pertanian yang tinggi, tetapi nilai tukar produk pertanian selalu rendah.
Cerita klasik petani adalah saat panen harga murah, saat musim tanam harga meroket. Apalagi tingkat kepemilikan lahan yang rata-rata di Jawa hanya 0,30 hektar yang tidak mencukupi untuk satu keluarga. Mereka menjadi pembudidaya pertanian yang bersifat subsisten (produksi dan konsumsi tidak terpisah). Mereka, tulis sosilog James C Scott, seperti berada di laut dengan air sampai seleher sehingga ombak sedikit saja sudah cukup menenggelamkan.
Cerita Panji
Dalam cerita dongeng tersebut tidak dijelaskan bagaimana prosesnya sehingga Mbok Rondho benar-benar mempunyai anak perempuan yang diberi nama Timun Emas. Setelah Timur Emas menapak usia remaja, Mbok Rondho ingat janjinya. Akan tetapi, dia tidak tega memberikan anaknya untuk dimangsa Buto Ijo.
Lantas berkunjunglah Mbok Rondho bersama Timun Emas kepada seorang pertapa di Gunung Gundul. Oleh pertapa tersebut Timun Emas diberi empat macam senjata penolak bala, yaitu jarum, biji timun, garam, dan secuil terasi. Pertapa itu berpesan apabila Buto Ijo mengejar, senjata tersebut supaya dilemparkan satu per satu.