Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minim, Perhatian Pemerintah pada Anak Eks Timtim

Kompas.com - 14/07/2009, 20:13 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com- Perhatian pemerintah terhadap nasib anak-anak pengungsi Timor-Timur masih sangat minim. Walau sudah bertahun-tahun tinggal di Indonesia, pemerintah belum juga bersedia mengeluarkan identitas bagi mereka.

Demikian diungkap Direktur HAM dan Kemanusiaan Departemen Luar Negeri Wiwiek Setyawati Firman usai media briefing bertajuk "Pencanangan Program Bersama Indonesia dan Timor Leste dalam Rangka Tindak Lanjut Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI-TL" di Jakarta, Selasa ( 14/7 ).

Ia mencontohkan seorang anak pengungsi Tim-Tim bernama Alves (20) sering kali mendapat kesulitan terutama saat menjalani pendidikan. Ia lulus ujian masuk Universitas negeri tapi terhalang persyaratan akta kelahiran. Begitu pula saat ia ingin mengikuti Pekan Olahraga Nasional, ia didiskualifikasi karena persoalan identitas diri. 

Alves datang ke Indonesia saat jajak pendapat yang menentukan lepasnya Timor-Timur dari Indonesia pada Mei 1999 . Tanpa identitas memadai, ia kemudian tinggal di Yayasan Taman Bina Anak Bangsa, Gunung Kidul, DIY, di bawah asuhan pasangan Wargiyo. Merasa prihatin akan hal itu Deplu berinisiatif mengambil jalur 'spesial' untuk memperjelas identitas kewarganegaraan Alves, saat ini Alves telah menjadi WNI dan memiliki paspor.

Ternyata tak hanya Alves yang mengalami hal tersebut, Wiwiek memperkirakan masih banyak Alves-Alves lain. Mereka akan terganjal saat mengurus surat-surat untuk perpanjangan visa pengurusan dokumen lainnya. "Anak-anak itu juga tidak dapat bersekolah di sekolah negeri, karena untuk sekolah negeri harus menggunakan akte lahir," terangnya.

Pemerintah, lanjut Wiwiek, harus mempermudah anak-anak itu dalam pengurusan identitasnya. "Beri mereka segala kemudahan, kalau perlu kewarganegaraan. Mereka sudah tinggal di Indonesia selama bertahun-tahun, apalagi yang harus dipertanyakan," kata Wiwiek.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Litbang Depkumham Prof Hafid Abbas menyatakan persoalan ini harus diselesaikan tanpa mengabaikan persoalan teknis. Pemberian identitas tanpa mengecek terlebih dahulu latar belakang si anak, jelasnya, akan menimbulkan potensi memberikan masalah baru bagi bangsa. Maka itu, ia menyatakan perlu waktu untuk autentifikasi data karena lebih cepat tidak berarti lebih baik.

"Seperti orang kawin, perlu ada data otentik apakah benar seorang pengungsi, apakah ada emergency situation. Itu perlu waktu diteliti untuk memastikan data akurat baru ambil keputusan," tuturnya.

Belajar dari pengalaman ini, ia menarik kesimpulan bahwa ada tiga hal yang menjadi pelajaran. Pertama, Indonesia harus membiasakan diri bekerja dengan data akurat, tata pemerintahan yang baik dan reformasi institusional. Semua dilakukan untuk memperbaiki kinerja pelayanan, termasuk mengakomodasi hak anak eks Timor Leste.

"Kasus ini membuka jalan. Hal ini perlu difasilitasi dan akhirnya akan terekspos," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com