Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perusakan Rumah Ibadah Marak, Aparat Negara Tak Berfungsi

Kompas.com - 29/01/2009, 21:00 WIB

JAKARTA, KAMIS — Dalam kurun tiga tahun terakhir, kasus perusakan tempat ibadah paling marak terjadi pada 2008 yang diberitakan media massa mencapai lima kasus. Penyebabnya karena aparat keamanan yang seharusnya bertindak memberi perlindungan justru melakukan tindakan pembiaran terhadap tindak kekerasan terhadap suatu agama atau keyakinan.

Hal itu diungkapkan peneliti dari Reform Institute, Yudi Latif, dalam diskusi "Kehidupan Beragama dan Prospek Islam Politik di Indonesia" di Café Betawi Ora, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (29/1).

Data tersebut diambil dari hasil riset Research Center for Islam and Indonesia (RCII) dengan Nurcholish Madjid Society (NCMS) yang berjudul "Analisis Media tentang Kebebasan Beragama di Indonesia Tahun 2008". Analisis ini dilakukan terhadap pemberitaan 20 media massa selama tahun 2008 baik itu media cetak maupun elektronik.

Dikatakan Yudi, dari data tersebut, tahun 2008 menjadi puncak ketegangan dan konflik yang berporos pada perbedaan pandangan dan keyakinan. "Pada 2006 hanya ada 4 kali perusakan, 2007 sebanyak 3 kasus dan paling tinggi 2008 sebanyak 5 kasus," jelasnya

Perusakan ini dilakukan dalam bentuk pembongkaran atau menghancurkan tempat ibadah, tempat pendidikan dengan simbol-simbol keyakinan yang berkaitan langsung dengan korban (aliran kepercayaan baru).

Sementara itu, tingginya kasus kekerasan terhadap keyakinan atau agama tertentu tak lepas dari pelaku tindak kekerasan yang paling banyak dilakukan oleh institusi sebesar 33 persen dan sebesar 17 persen dilakukan oleh massa.

"Yang mengejutkan, pelaku kekerasan juga dari aparat negara sebesar 25 persen dan ormas/LSM dengan jumlah yang sama. Fakta ini memperlihatkan aparat negara tak menjalankan fungsi pengamanan, termasuk melakukan pembiaran. Tindak kekerasan bila dibiarkan maka tak membuat pelaku surut melakukan aksinya," jelas Yudi.

Dikatakan Yudi, tindak kekerasan itu muncul sebagai penolakan dari kelompok yang tak bisa menerima aliran keyakinan atau kepercayaan baru yang muncul baik itu dari suatu agama atau independen. "Pemicunya, mereka yang menolak ini awalnya tak bisa menerima keberadaan aliran baru dan menganggapnya sebagai penodaan terhadap agama. Padahal aliran baru yang muncul dari interpretasi yang berbeda atas suatu keyakinan atau agama itu bukan penodaan, kecuali memang ada unsur menjelekkan atau melecehkan suatu agama," tutur Yudi.

Contoh paling nyata, dikatakannya, kasus Ahmadiyah yang sama sekali tak ada unsur menjelekkan agama lain tetapi dibubarkan oleh pemerintah karena desakan kelompok tertentu yang merasa aliran itu menodai ajaran mereka.

Maka, menurut Yudi, yang harus dikembangkan itu bukan toleransi, tetapi kebebasan beragama dan berkeyakinan.

"Kalau toleransi itu kehadiran 'aliran lain' itu bisa ditoleransi tetapi dalam batas-batas tertentu, masih ada potensi penolakan bila melanggar 'batas' tadi. Sedangkan kebebasan beragama, hak untuk beragama dan berkeyakinan itu tak hanya ditoleransi tetapi diakui dan diterima sebagai suatu hak positif," tandas Yudi.

Menurutnya, kebebasan beragama ini yang masih perlu diimplementasikan dalam sendi kehidupan bermasyarakat. "Jadi toleransi saja tak cukup tapi hak setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan sebagai hak sipil seperti yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 dan kovenan internasional yang telah kita ratifikasi dalam UU dapat terwujud," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com